Senin, 09 November 2009

DAFTAR ISI


Halaman

Kata Pengantar …………………………………………………………. i
SK Pemberlakuan Tata Laksana Pengendalian Infeksi Nosokomial …………. ii
Daftar Isi …………………………………………………………………. iii
Bab I : Pendahuluan …………………………………………. 1
Bab II : Pencegahan Infeksi Nosokomial …………………. 2
- Kewaspadaan Universal
- Tindakan Invasif
- Tindakan Non Invasive
- Tindakan terhadap Anak dan neonatus
- Sterilisasi dan Desinfeksi
- Desinfeksi Ruang / Foging
Bab III : Surveilans …………………………………………………. 15
Bab IV : Penggunaan Antibiotika …………………………………. 24
Bab V : Penutup …………………………………………………. 26
Daftar Pustaka





























KATA PENGANTAR


Buku Tata Laksana Infeksi Nosokomial ini sebagai pelengkap serta digunakan dalam satu kesatuan dengan Buku Pedoman Pengendalian Infeksi Nosokomial RS. Islam Klaten.

Dalam buku ini dimuat petunjuk tata laksana dari beberapa tindakan yang mempunyai resiko infeksi nosokomial serta cara penanggulangan dan pencegahannya. Dengan adanya buku ini diharapkan semua petugas dapat mengetahui serta melaksanakan setiap kegiatan pengendalian infeksi nosokomial di RS. Islam Klaten secara efisien dan mencapai hasil yang sebaik – baiknya.

Sebagaimana halnya suatu standar prosedur, maka buku tata laksana ini akan terus mengalami perbaikan dalam rangka penyempurnaan sesuai dengan kemajuan iptek kedokteran.



Klaten, 12 April 2007
Panitia Pengendalian Infeksi Nosokomial
RS. Islam Klaten


























BAB I
PENDAHULUAN



Infeksi Nosokomial merupakan masalah serius bagi semua rumah sakit. Kerugian yang ditimbulkan sangat membebani rumah sakit maupun pasien. Terjadinya infeksi nosokomial dipengaruhi oleh beberapa factor, antara lain :

- Banyaknya pasien yang dirawat yang menjadi sumber infeksi bagi lingkungan dan pasien lainnya.
- Kontak langsung antara pasien yang menjadi sumber infeksi dengan pasien lainnya.
- Kontak langsung antara petugas rumah sakit yang tercemar kuman dengan pasien.
- Penggunaan alat / peralatan medis yang tercemar oleh kuman.
- Kondisi pasien yang lemah akibat penyakit yang dideritanya.

Pengendalian Infeksi Nosokomial merupakan suatu upaya penting dalam meningkatkan mutu pelayanan medis rumah sakit. Hal ini hanya dapat dicapai dengan keterlibatan secara aktif semua personil rumah sakit, mulai dari petugas kebersihan sampai dengan dokter dan mulai dari pekarya sampai dengan jajaran Direksi. Kegiatannya dilakukan secara baik dan benar di semua sarana rumah sakit. ; peralatan medis dan non medis, ruang perawatan dan prosedur serta lingkungan.

Mengingat kegiatan yang penting ini melibatkan berbagai disiplin dan tingkatan personil rumah sakirt. Diperlukan adanya prosedur baku untuk setiap tindakan yang berkaitan dengan pengendalian infeksi nosokomial. Prosedur baku yang dituangkan dalam tata laksana pengendalian infeksi nosokomial ini merupakan prosedur maksimal yang harus diupayakan untuk dilaksanakan seluruhnya sesuai dengan situasi pada saat dan tempat pelaksanaannya.

Diharapkan dengan adanya tata laksana pengendalian infeksi nosokomial yang merupakan pelengkap dari pedoman pengendalian infeksi nosokomial ini seluruh personil RS. Islam Klaten memiliki sikap dan perilaku yang sama dalam mengendalikan infeksi nosokomial. Hasil akhir yang diharapkan adalah peningkatan mutu pelayanan kesehatan secara menyeluruh oleh RS. Islam Klaten terhadap pasien.


BAB II
PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL



Pencegahan terhadap terjadinya infeksi nosokomial di rumah sakit dimaksud untuk menghindari terjadinya infeksi selama pasien dirawat di rumah sakit. Pelaksanaan upaya pencegahan infeksi nosokomial terdiri atas :

- Kewaspadaan Universal
- Tindakan Invasif
- Tindakan Non invasive
- Tindakan terhadap anak dan neonatus
- Sterilisasi dan Desinfeksi


KEWASPADAAN

Definisi :
“ Universal Precautions “ atau Kewaspadaan Universal adalah suatu pedoman yang ditetapkan oleh Centers for Disease Cotrol ( CDC ) ( 1985 ) untuk mencegah penyebaran dari berbagai penyakit yang ditularkan melalui darah di lingkungan rumah sakit maupun sarana pelayanan kesehatan lainnya. Adapun konsep yang dianut adalah bahwa semua darah dan cairan tubuh tertentu harus dikelola sebagai sumber yang dapat menularkan HIV, HBV dan berbagai penyakit lain yang ditularkan melalui darah.

Pelaksanaan Kewaspadaan Universal.
Secara singkat, kebijaksanaan pelaksanaan “UP” adalah seperti apa yang dikemukakan dibawah ini :
1. Semua petugas kesehatan harus rutin menggunakan sarana yang dapat mencegah kontak kulit dan selaput lender dengan darah atau cairan tubuh lainnya dari setiap pasien yang dilayani.
Dengan demikian setiap petugas kesehatan harus :
 Menggunakan sarung tangan bila :
- Menyentuh darah atau cairan tubuh, selaput lender atau kulit yang tidak utuh.
- Mengelola berbagai peralatan dan sarana kesehatan / kedokteran yang tercemar darah atau cairan tubuh.
- Mengerjakan fungsi vena atau segala prosedur yang menyangkut pembuluh darah. Sarung tangan harus selalu diganti setiap selesai kontak dengan seorang pasien.
 Menggunakan masker dan pelindung mata atau pelindung wajah bila mengerjakan prosedur yang memungkinkan terjadinya cipratan darah atau cairan tubuh guna mencegah terpaparnya selaput lender pada mulut, hidung dan mata.
 Memakai jubah ( pakaian kerja ) khusus selama melaksanakan tindakan yang mungkin akan menimbulkan cipratan darah atau cairan tubuh ainnya.
2. Tangan dan bagian tubuhlainnya harus segera dicuci sebersih mungkin bila terkontaminasi oleh darah dan cairan tubuh lainnya. Setiap saat setelah melepaskan sarung tangan, tangan harus segera dicuci.
3. Semua petugas harus selalu waspada terhadap kemungkinan tertusuk jarum, pisau dan benda / alat tajam lainnya selama pelaksanaan tindakan, saat membersihkan / mencuci peralatan, saat membuang sampah atau ketika membenahi peralatan setelah berlangsungnya prosedur / tindakan.
Untuk mencapai tujuan ini, maka jangan menutup kembali jarum suntik setelah selesai dipakai, jangan sengaja membengkokkan atau mematahkan jarum suntik dengan tangan, jangan melepaskan jarum suntik dari tabungnya atau melakukan apapun pada jarum suntik dengan menggunakan tangan. Setelah segala benda tajam digunakan, maka harus ditempatkan di suatu wadah khusus yang tahan / anti tusukan.
Wadah ini harus berada sedekat mungkin atau mudah dicapai disekitar arena tindakan. Kemudian wadah kumpulan benda tajam tersebut harus menjamin aman untuk transportasi ke tempat pemrosesan alat ataupun dalam proses pengenyahan.
4. Walaupun air liur belum terbukti menularkan HIV, tindakan resusitasi dengan cara dari mulut ke mulut harus dihindari. Dengan demikian di setiap tempat yang mungkin akan kedapatan kasus yang memerlukan resusitasi, perlu disediakan alat resusitasi.
5. Petugas kesehatan yang sedang mengalami perlukaan atau ada lesi yang mengeluarkan cairan misalnya menderita dermatitis basah harus menghindari tugas – tugas yang bersifat kontak langsung dengan pasien ataupun kontak langsung dengan peralatan bebas pakai pasien.
6. Petugas kesehatan yang sedang hamil tidak mempunyai resiko lebih besar untuk tertular HIV bila dibandingkan dengan petugas kesehatan yang tidak hamil. Namun demikian bila terjadi infeksi HIV selama kehamilan, janin yang dikandungnya mempunyai resiko untuk mengalami transmisi perinatal. Oleh karena itu, petugas kesehatan yang sedang hamil harus lebih memperhatikan pelaksanaan segala prosedur yang dapat menghindari penularan HIV.

Dengan menerapkan KU setiap petugas kesehatan dapat terlindung semaksimal mungkin dari kemungkinan terpapar oleh infeksi penyakit yang ditularkan melalui darah atau cairan tubuh baik dari kasus yang terdiagnosis maupun yang tidak terdiagnose. Sebagai keuntungan tambahan, transmisi dari kebanyakan infeksi yang ditularkan dengan cara lainpun terhadap petugas kesehatan dan pasiennya akan dikurangi pula.

Beberapa petunjuk khusus dalam pelaksanaan KU

Kita menyadari bahwa diagnosis dini adanya infeksi oleh berbagai mikroorganisme pada seorang pasien, khususnya infeksi virus seperti HIV, Hepatitis B dll, penting peranannya dalam manajemen kasus. Akan tetapi atas dasar berbagai pertimbangan sampai saat ini penapisan ( “ screening “ ) terhadap berbagai infeksi virus tidak mungkin dilakukan secara rutin. Bahkan pada infeksi oleh HIV terdapat masa jendela yang mana pada masa tersebut darah atau cairan tubuh penderita, sudah dapat menularkan infeksi akan tetapi HIV belum dapat terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium. Oleh karena itu prinsip KU dalam upaya pencegahan infeksi merupakan kunci utama keberhasilan memutuskan rantai transmisi penyakit yang ditularkan melalui darah maupun cairan lainnya. Di bawah ini disampaikan langkah – langkah yang perlu diperhatikan sebagai prosedur pencegahan infeksi, khususnya infeksi HIV. Perlu diingatkan bahwa langkah – langkah di bawah ini tidak mengabaikan pentingnya pelaksanaan prosedur standar dalam tiap – tiap tindakan pemrosesan alat / instrument secara tepat, pembuangan sampah / limbah secara aman dan menjamin kebersihan ruangan tindakan dan lingkungan sekitarnya.

1. Kewaspadaan dalam tindak medik
Sebagai prosedur pembedahan yang membuka jaringan organ, pembuluh darah, pertolongan persalinan maupun tindakan abortus prosedur hemodialisis dan prosedur operasi gigi mulut termasuk dalam tindak medik invasive beresiko tinggi untuk menularkan HIV bagi tenaga dokter atau pelaksana lainnya. Untuk memutuskan rantai penularan diperlukan barier berupa :
a. Kacamata pelindung untuk menghindari persikan cairan tubuh pada mata.
b. Masker penutup pelindung hidung dan mulut untuk mencegah percikan pada mukosa hidung dan mulut.
c. Plastik penutup badan ( skort ) untuk mencegah kontak cairan tubuh pasien dengan penolong.
d. Sarung tangan yang tepat untuk melindungi tangan yang aktif melakukan tindak medik invasive.
e. Penutup kaki untuk melindungi kaki dari kemungkinan terpapar cairan yang infektis.

2. Kegiatan di Unit Gawat Darurat
Unit Gawat Darurat yang umumnya melayani kasus kecelakaan maupun kasus emergensi lainnya harus menyediakan segala peralatan yang berkaitan dengan pelaksanaan KU. Sarana seperti sarung tangan, masker dan gaun khusus harus selalu ada, mudah dicapai dan mudah dipakai. Alat resusitasi harus tersedia dalam keadaan siap pakai dan ada petugas yang terlatih untuk menggunakannya. Disetiap tempat tindakan pelayanan emergency harus tersedia wadah khusus untuk mengelola peralatan tajam.

3. Kegiatan di Kamar Operasi
a. Dalam Prosedur Operasi
Selain oleh darah secara kontak langsung tertusuknya bagian dari tubuh oleh benda – benda tajam merupakan kecelakaan yang harus dicegah. Oleh karena itu instrument yang tajam jangan diberikan secara langsung ked an dari operator oleh asisten atau instrumentator. Untuk memudahkan hal ini dipakai nampan guna menyerahkan instrument tajam tersebut ataupun mengembalikannya. Operator bertanggung jawab untuk menempatkan benda tajam secara aman.
b. Pada saat menjahit.
Pada saat menjahit dilakukan prosedur sedemikian rupa sehingga jari / tangan terhindar dari tusukan.
c. Memisahkan jaringan
Jangan menggunakan tangan untuk memisahkan jaringan karena tindakan ini akan menambah resiko.
d. Operasi Sulit.
Untuk operasi – operasi yang membutuhkan waktu lebih dari 60 menit dan lapangan kerjanya sulit ( sempit ) dianjurkan untuk menggunakan sarung tangan ganda.
e. Melepaskan baju operasi dilakukan sebelum membuka sarung tangan agar tidak terpapar oleh darah / cairan tubuh dari baju operasi tersebut.
f. Pencucian instrument bekas pakai sebaiknya secara mekanik.
Bila mencuci instrument secara manual, petugas harus menggunakan sarung tangan rumah tangga dan instrument tersebut sebelumnya telah mengalami proses dekontaminasi dengan merendam dalam larutan clorin 0,5% selama 10 menit.
g. Seorang dokter yang akan melakukan prosedur pembedahan sebaiknya telah diuji kelayakannya untuk melakukan tindakan tersebut secara khusus sebelumnya.

4. Kegiatan di Kamar Bersalin
Disamping memperhatikan kebutuhan barier yang telah disebutkan diatas, perlu diingatkan bahwa :
a. Kegiatan di Kamar Bersalin yang membutuhkan lengan / tangan untuk manipulasi instrauterin tentunya harus menggunakan skor dan sarung tangan yang mencapai siku.
b. Penolong bayi baru lahir harus menggunakan sarung tangan.
c. Cara pengisapan lender bayi dengan mulut penolong harus ditinggalkan.
d. Potonglah tali pusat bayi segera setelah lahir, hindari terjadinya cipratan darah.
e. ASI dari ibu yang terinfeksi HIV mempunyai resiko untuk bayi baru lahir, akan tetapi tidak beresiko untuk tenaga kesehatan.

5. Prosedur Anesthesi
Prosedur Anasthesi merupakan salah satu aktifitas yang dapat memaparkan HIV pada tenaga kesehatan pula. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah :
a. Perlu disediakan nampan /troli untuk alat – alat yang sudah dipergunakan.
b. Jarum harus dibuang sesegera mungkin setelah pemakaian ke dalam wadah yang aman.
c. Pakailah obat – obatan sedapat – dapatnya untuk dosis dengan 1 kali pemberian.
d. Menutup spuit adalah prosedur resiko tinggi.
e. Sangat dianjurkan agar petugas anasthesi melewati uji kelayakan terlebih dahulu untuk meminimalkan resiko terluka oleh jarum suntik dan alat lain yang tercemar darah dan cairan tubuh.

6. Lokasi kagiatan lainnya yang memerlukan perhatian adalah di mobil ambulan, ruang emergency, laboratorium serta kamar jenazah.


Manajemen untuk tenaga kesehatan yang terpapar darah atau cairan tubuh.

1. Paparan secara parenteral melalui tusukan jarum, terpotong dan lain – lain : Keluarkan darah sebanyak – banyaknya, cuci dengan sabun dan air atau dengan air saja sebanyak – banyaknya.
2. Paparan pada membrane mukosa melalui cipratan kemata : Cuci mata secara “ gentle “ dengan mata dalam keadaan terbuka menggunakan air cairan NaCL.
3. Paparan pada mulut : Keluarkan cairan infektif tersebut dengan cara berludah kemudian kumur – kumur dengan air beberapa kali.
4. Paparan pada kulit yang utuh maupun kulit sedang mengalami perlukaan, lecet atau dermatitis : cucilah sebersih mungkin dengan air dan sabun antiseptic.

Selanjutnya mereka yang terpapar ini perlu mendapatkan pemantauan pemeriksaan HIV yang adekuat dan kondisi kesehatannya pun harus diperhatikan. Pejamu – pun harus terus dimonitor kemungkinan infeksinya. Selama pemantauan, tenaga kesehatan yang terpapar tersebut memerlukan konseling mengenai resiko infeksi dan pencegahan transmisi selanjutnya. Tentunya individu tersebut diingatkan untuk tidak menjadi donor darah ataupun jaringan, melakukan hubungan seksual yang aman dan mencegah kehamilan. Dibeberapa Negara seperti Australia, diberikan zidovudine ( AZT ) profilaksis 200 mg oral, 5 kali / hari selama 6 minggu.

Upaya untuk melaksanakan KU di lingkungan kita.
Sebagai petugas kesehatan khususnya yang bekerja di lingkungan rumah sakit sudah selayaknya kita menerapkan “UP” dalam melaksanakan tugas kita sehari – hari. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu diselenggarakan langkah – langkah sebagai berikut :

1. Identitas unsure – unsure yang terkait.
2. menilai fasilitas dan kebiasaan yang berlangsung.
3. Meninjau kembali kebijakan dan prosedur yang telah ada.
4. Membuat perencanaan ( menyusun proposal ).
5. menjalankan rencana yang telah disusun.
6. mengadakan pendidikan dan pelatihan.
7. Pemantauan dan supervise pelaksanaan KU secara berkala.


TINDAKAN INVASIF

A. Tindakan Invasif Sederhana.
B. Tindakan Invasif Operasi.

A. Tindakan Invasif Sederhana
Tindakan invasive sederhana adalah suatu tindakan memasukkan alat kesehatan kedalam tubuh pasien sehingga memungkinkan mikroorganisme masuk kedalam tubuh dan menyebar ke jaringan.
Contoh :
Suntikan, pungsi ( vena, lumbal, pericardial, pleura suprapubik ), bronkoskopi, angiografi, pemasangan alat ( kontrasepsi, kateter intravena, kateter jantung, pipa endotrakeal, pipa nasogastrik, pacu jantung ).

B. Tindakan Invasif Operasi
Tindakan invasive oeprasi adalah suatu tindakan yang melakukan penyayatan pada tubuh pasien dan dengan demikian memungkinkan mikroorganisme masuk kedalam tubuh dan menyebar.

Sumber Infeksi pada Tindakan Invasive
a. Petugas umum adalah semua petugas yang bekerja sekitar ruang tindakan
- Tidak memperhatikan hygiene perorangan.
- Tidak mencuci tangan.
- Bekerja tanpa memperhatikan tehnik aseptic dan antiseptic.
- Tidak memahami cara penularan / penyebaran kuman pathogen.
- Menderita penyakit menular / infeksi / karier.
- Tidak mematuhi tata tertib di kamar operasi.
- Tidak memperhatikan tehnik aseptic / antiseptic.
- Bekerja ceroboh dan masa bodoh terhadap lingkungan.
- Tidak menguasai tindakan yang dilakukan.

Petugas khusus adalah semua petugas yang bekerja didalam kamar tindakan.
- Tidak memperhatikan kebersihan perorangan.
- Mempunyai penyakit infeksi / menular / karier.
- Tidak mematuhi tata tertib yang berlaku di kamar operasi.
- Tidak memperhatikan tehnik aseptic / antiseptic.
- Ceroboh dalam bekerja.
- Tidak memperhatikan hygiene perorangan.
- Kuku panjang
- Mencuci tangan dengan cara yang tidak benar.

b. Alat
- Tidak steril.
- Diluar batas waktu yang ditetapkan ( kadaluwarsa ) tanpa disterilkan lagi.
- Untuk pemakaian berulang tanpa disterilkan lagi.
- Penyimpanan tidak baik.
- Kotor.
- Rusak / karatan.

c. Pasien
- Higiene pasien tidak baik.
- Keadaan gizi tidak baik.
- Menderita penyakit kronis.
- Menderita penyakit infeksi / menular / karier.
- Sedang menapatkan pengobatan imunosupresif.
- Persiapan pasien dari ruang rawat tidak baik.
- Daerah sekitarnya terdapat tanda – tanda infeksi, missal : sakit kulit, dsb.

d. Lingkungan
- Penerangan / sinar matahari tidak cukup.
- Sirkulasi udara harus cukup, tidak lembab dan berdebu.
- Dijaga kebersihannya.
- Menghindari serangga.
- Mencegah air tergenang.
- Tempat sampah selalu dalam keadaan tertutup.
- Tidak ada serangga.
- Permukaan lantai harus rata dan tidak berlubang.
- Ruangan bersih, kering dan tidak berbau.
- Dinding kamar operasi harus licin mudah dibersihkan.
- Sudut ruangan tidak tajam.
- Mengatur system sirkuasi udara dalam kamar operasi.
- Cahaya cukup terang.
- Dipisahkan lalu lintas untuk petugas, pasien, barang bersih dan kotor.
- Jumlah petugas yang keluar masuk ke kamar operasi dibatasi.
- Ruangan dibersihkan secara rutin, mingguan atau pada kasus infeksi tertentu.



TINDAKAN NON INVASIF

Tindakan non invasive adalah suatu tindakan medis dengan menggunakan alat kesehatan tanpa memasukkan kedalam tubuh pasien yang memungkinkan mikroorganisme masuk ke dalam jaringan.
Contoh : Tindakan EKG, USG, pengukuran suhu tubuh, pengukuran tekanan darah, pengukuran nadi, pemeriksaan reflek tonus treadmill tes, pemasangan holter dan lain – lain.

1. Sumber Infeksi pada tindakan non invasif
Infeksi pada tindakan non invasive dapat terjadi karena kontak langsung antara :
1. Pasien yang menderita penyakit infeksi / menular / karier dapat menularkan penyakit yang diderita kepada pasien lain.
2. Pasien dengan petugas.
- Petugas yang menderita penyakit infeksi / menular / karier dapat menularkan penyakit yang diderita kepada pasien atau sebaliknya.
- Petugas dapat menjadi perantara penularan penyakit.
3. Pasien dengan pengunjung
- Pasien dapat menularkan penyakit yang dideritanya kepada pengunjung atau sebaliknya.
4. Pasien dengan Alat
- Pasien dapat menularkan kuman penyakit yang diderita ke alat – alat yang telah digunakan atau sebalikya.
5. Pasien dengan lingkungan.
- Pasien dapat menularkan kuman penyakit yang dideritanya ke lingkungan sekitarnya atau sebaliknya.
6. Pasien dengan air.
- Pasien dapat menularkan kuman penyakit yang dideritanya ke air yang dipergunakan atau sebaliknya.
7. Pasien dengan makanan
- Pasien dapat menularkan kuman penyakit yang diderita ke makanan atau sebaliknya.

2. Pencegahan Infeksi pada Tindakan Non Invasif
2.1. Pasien
- Isolasi pasien yang diduga menderita penyakit infeksi atau menular.
2.2. Petugas
- Mencuci tangan lebih dahulu sebelum dan sesudah kontak dengan pasien (lampiran 1 ).
2.3. Pengunjung
- Yang sedang menderita sakit tidak diperkenankan mengunjungi pasien.
- Menggunakan barrier nursing sewaktu mengunjungi pasien yang berpenyakit infeksi / menular.
- Jumlah dibatasi.
2.4. Alat
- Yang digunakan harus bersih dan kering.
- Yang telah terkontaminasi segera dibersihkan dengan bahan desinfektan dan kemudian disterilkan.
- Yang terkontaminasi oleh pasien dengan penyakit tertentu ( misalnya gas gangrene ) dimusnahkan.
2.5. Lingkungan
- Lingkungan pasien / kamar dijaga selalu dalam keadaan bersih dan kering.
- Sirkulasi udara dalam kamar harus lancar.
- Penerangan / sinar matahari dalam kamar harus cukup.
- Tempat sampah selalu dalam keadaan tertutup.
- Tidak ada serangga didalam kamar pasien.
- Untuk penyakit tertentu ( misalnya gas gangrene ) ruangan dihapus hamakan sebelum dipakai kembali.
2.6. Air.
- Kualitas air tersedia memenuhi syarat kesehatan yaitu batas bebas kuman, tidak berbau, tidak berwarna, jernih dan bersih.
- Jumlah air yang tersedia memenuhi kebutuhan pasien.
- Air minum harus dimasak sampai mendidih.
- Bak tempat penampungan air dibersihkan secara rutin minimal 2 kali seminggu.
- Dicegah adanya genangan air limbah.
2.7. Makanan
- Selalu dalam keadaan tertutup.
- Yang sudah rusak / terkontaminasi dibuang.
- Diberikan sesuai dengan diet yang dianjurkan.
- Pemberian dari luar rumah sakit harus dicegah.


TINDAKAN TERHADAP ANAK DAN NEONATUS

Tindakan terhadap anak / neonatus dapat berupa tindakan invasive, invasive operasi maupun tindakan non invasive. Pencegahan infeksi pada tindakan terhadap anak / neonatus meliputi :
1. Petugas
- Harus dalam keadaan sehat.
- Tidak menderita penyakit menular seperti tuberkulosa, penyakit saluran nafas lainnya. Penyakit gastro intestinal, penyakit kulit atau mukokutaneus seperti herpes dan lain – lain.
- Pakaian petugas yang bekerja dibangsal anak / neonatus berlengan pendek agar mudah untuk mencuci tangan.
- Sebelum dan sesudah kontak dengan pasien harus mencuci tangan dengan antiseptic atau sabun serta air mengalir.
- Khusus bila kontak dengan neonatus tangan harus dicuci sampai ke siku dengan sabun dan air mengalir serta digosok dengan sikat ( pertama kali masuk bangsal ) kemudian dapat dipakai larutan antiseptic.
- Sebelum masuk ke bangsal neonatus, topi, masker dan sarung tangan hanya dipakai pada waktu melakukan tindakan invasive seperti fungsi lumbal, ganti darah, kateterisasi umbilical / jantung.
- Kuku harus pendek, memperhatikan kebersihan diri dan lingkungan.


1. Alat
- Semua alat yang dipakai selalu dalam keadaan bersih dan kering.
- Harus dalam keadaan steril kalau mungkin alat disterilkan dengan autoklaf atau dapat juga dengan menggunakan desinfektan setelah alat dibersihkan.
- Inkubator / tempat tidur bersih dan kering kalau mungkin disterilkan dengan desinfektan / detergen. Tempat tidur / incubator dibersihkan setiap bayi / anak dipulangkan / dipindah / meninggal.
- Bayi / anak hanya boleh disatu tempat tidur selama 1 minggu.
- Tempat tidur tidak boleh dibersihkan selama anak berada ditempat tidur.

2. Pasien anak / neonatus
- Kulit harus dalam keadaan bersih dan kering, demikian juga tali pusat.
- Kulit tempat tindakan invasive ( pengambilan darah, inmfus, lumbal pungsi ) harus dibersihkan dulu dengan zat antiseptic.
- Isolasi / memisahkan bayi yang sehat dari bayi yang diduga ada infeksi.
- Bayi / anak masing – masing harus mempunyai perlengkapan sendiri dan sebaliknya dicuci dibangsal bayi.
- Susu, dot, botol susu sebaiknya disetrilkan diautoklaf sub atmospheric pressure ( proses pasteurisasi ) yang khusus dipkai di dapur susu.
- Pakaian / alas tempt tidur, selimut bayi / anak sebaiknya disediakan setiap 8 jam untuk sekali pakai.
- Perlengkapan bayi / anak harus dibawa ketempat perawatan dalam keadaan steril dan tertutup. Khusus untuk neonatus sebaiknya pakaiannya dipakai yang disposibel.
- Pakaian kotor harus dikumpulkan dalam plastic tertutup dan diganti dengan yang bersih setiap 8 jam.
- Bahan / zat yang dipakai untuk membersihkan pakaian bayi harus diketahui oleh dokter ruangan bayi / anak untuk mencegah kelainan yang mungkin timbul terhadap bayi.

4. Lingkungan
- Kamar / ruang peralatan cukup sinar matahari yang masuk ketempat perawatan sehingga secara tidak langsung bayi yang kuning mendapatkan terapi sinar.
- Kamar / ruang harus ada penerangan / sinar yang diperlukan untuk menghangatkan ruangan.
- Penyediaan air bersih untuk keperluan pasien.
- Penyediaan air bersih untuk keperluan pasien.
- Lantai, dinding dan jendela dibersihkan dengan desinfektan / detergen atau penghisap debu kering yang diikuti dengan wet vaccum pick up machine. Bagian yang harus dibersihkan adalah sekitar pasien dan lingkungan tempat perawatan.

Urine merupakan sumber infeksi, oleh sebab itu perlu :
Mencuci tangan sebelum dan sesudah :
- Memeriksa pasien.
- Pemakaian alat prosedur.
- Pemeriksaan genital.
- Menampung / memeriksa urine.


STERILISASI DAN DESINFEKSI

STERILISASI
1. Pengertian
Sterilisasi adalah proses pengolahan suatu alat atau bahan dengan tujuan mematikan semua mikroorganisme termasuk endospora pada suatu alat / bahan.
Proses sterilisasi di rumah sakit sangat penting sekali dalam rangka pengawasan pencegahan infeksi nosokomial.
Keberhasilan usaha tersebut akan tercermin pada kualitas dan kuantitas mikroorganisme yang terdapat bahan, alat serta lingkungan kerja rumah sakit.
Sebaiknya proses sterilisasi di RS dilaksanakan secara sentralisasi dengan tujuan agar tercapainya :
1. Efisiensi dalam menggunakan peralatan dan sarana.
2. Efisiensi tenaga.
3. Menghemat biaya investasi, instalasi dan pemeliharaannya.
4. Sterilisasi bahan dan alat yang disterilkan dapat dipertanggung jawabkan.
5. Penyederhanaan dalam pengembangan prosedur kerja, standarisasi dan peningkatan pengawasan mutu.

Untuk kerja yang bertanggung jawab terhadap proses sterilisasi di rumah sakit adalah Instalasi Sterilisasi Sentral. Instalasi Sterilisasi Sentral mempunyai kegiatan mengelola semua kebutuhan peralatan dan perlengkapan tindakan bedah serta non bedah. Mulai dari penerimaan, pengadaan, pencucian, pengawasan, pemberian tanda steril penyusunan dan pengeluaran barang – barang hasil sterilisasi ke unit pemakaian di RS.

2. Tehnik Sterilisasi
Sebelum memilih tehnik sterilisasi yang tepat dan efisien diperlukan pemahaman terhadap kemungkinan adanya kontaminasi dari bahan dan alat yang akan disterilkan.

Kontaminasi terjadi karena adanya perpindahan mikroorganisme yang berasal dari berbagai macam sumber kontaminasi.

Sumber kontaminasi dapat berasal dari :
1. Udara yang lembab atau uap air.
2. Perlengkapan dan peralatan di rumah sakit.
3. Personalia yang di rumah sakit ( kulit, tangan, rambut dan saluran nafas yang terinfeksi ).
4. Air yang tidak disuling dan tidak disterilkan.
5. Ruang yang tidak dibersihkan dan di desinfektan.
6. Pasien yang telah terinfeksi.

Sterilisasi dimaksudkan untuk membunuh atau memisahkan semua mikroorganisme ditetntukan oleh daya mikroorganisme terhadap tehnik sterilisasi.

Tehnik sterilisasi ada beberapa cara :
1.1. Sterilisasi dengan pemanasan :
a. Pemanasan basah dengan Autoklaf
b. Pemanasan kering dengan pemijatan dan udara panas.
c. Pemanasan dengan bactericid.
1.2. Sterilisasi dengan penyaringan.
1.3. Sterilisasi dengan menggunakan zat kimia.
1.4. Sterilisasi dengan penyinaran.

3. Pemilihan tehnik sterilisasi berdasarkan pertimbangan
a. Tehnik yang murah, cepat dan sederhana.
b. Hasil yang diperoleh benar – benar steril.
c. Bahan yang disterilkan tidak boleh mengalami perubahan.

3. Pengawasan
Suatu bahan steril yang dihasilkan selama dalam penggunaan harus dapat dijamin kualitas dan kuantitasnya. Waktu kadaluwarsa suatu bahan steril sangat tergantung kepada tehnik sterilisasi. Pengawasan terhadap proses sterilisasi dapat dilakukan dengan cara mentest bahan atau alat yang dianggap masih steril dengan memakai indicator fisika, kimia dan biologi tergantung pada tehnik sterilisasi yang digunakan waktu mensterilkan bahan / alat tersebut.

4. Pengujian
Ada tiga pilihan yang dapat digunakan sebagai tehnik dalam pengujian sterilisasi :
a. Pemanasan sample langsung pada media pembenihan.
b. Pembilasan penyaring, hasil pembilasan diinkubasikan setelah ditanam dalam media pembenihan.
c. Penambahan media pembenihan paket ke dalam larutan yang akan diuji kemudian diinkubasi.

Jaminan hasil penguian dapat dicapai jika pengawasan dimulai semenjak pemilihan bahan dan alat yang akan disterilkan. Tehnik sterilisasi yang akan dipakai sampai dengan proses penyimpanan dan pendistribusian bahan / alat yang sudah steril.


DESINFEKSI

1. Pengertian
Desinfeksi adalah suatu proses baik secara kimia atau secara fisika dimana bahan yang patogenik atau mikroba yang menyebabkan penyakit dihancurkan dengan suatu desinfeksi dan antiseptic.
Desinfektan adalah senyawa atau zat yang bebas dari infeksi yang umumnya berupa zat kimia yang dapat membunuh kuman penyakit atau mikroorganisme yang membahayakan menginaktifkan virus.
Antiseptik adalah zat – zat yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada jaringan hidup.
Unit kerja yang bertanggung jawab terhadap penyediaan desinfektan dan antiseptic di rumah sakit adalah Instalasi Farmasi.
Instalasi Farmasi mempunyai kegiatan mulai dari perencanaan, pengadaan, pembuatan, penyusunan dan penyaluran desinfektan / antiseptic ke unit pemakai di rumah sakit.

2. Tehnik Desinfeksi
Tehnik desinfeksi yang dilakukan tidak mutlak bebas dari mikroorganisme hidup seperti pada sterilisasi karena desinfektan / antiseptic tidak menghasilkan sterilisasi.
Pemilihan desinfetan yang tepat seharusnya memenuhi criteria berikut :
a. Daya bunuh kuman yang tinggi dengan toksisitas yang rendah.
b. Spektrum luas, dapat mematikan berbagai macam mikroorganisme.
c. Dalam waktu singkat dapat mendesinfeksi dengan baik.
d. Stabil selama dalam penyimpanan.
e. Tidak merusak bahan yang didesinfeksi.
f. Tidak mengeluarkan bau yang mengganggu.
g. Desinfektannya sederhana dan tidak sulit pemakaiannya.
h. Biaya murah dan persediaannya tetap ada dipasaran.

Faktor yang mempengaruhi pemilihan desinfektan yaitu sifat – sifat zat kimia yang akan digunakan seperti konsentrasi, temperature, pH dan bentuk formulasinya disamping itu kepekaan mikroorganisme terhadap kerja zat kimia serta lingkungan dimana desinfektan tersebut akan digunakan.
Macam macam desinfektan yang dapat dipakai dalam tehnik desinfeksi digolongkan berdasarkan struktur kimia senyawa :


LIHAT LEMBAR DESINFEKSI


2. Pengawasan Desinfeksi
Pengawasan desinfeksi dilakukan terhadap penggunaan desinfeksi sangat tergantung kepada pengaruh suhu, pencemaran, pH, aktifitas permukaan, jumlah mikroorganisme dan adanya zat – zat yang mengganggu pada waktu mempergunakan desinfektan.






BAB III
SURVEILANS


Meskipun berbagai upaya pencegahan infeksi nosokomial di rumah sakit telah dilaksanakan secara optimal, agaknya infeksi nosokomial di rumah sakit akan tetap terjadi, namun demikian jumlah kejadian yang lebih sedikit.

Oleh karena itu, untuk mengadakan evaluasi terhadap keberhasilan program pengendalian infeksi nosokomial serta upaya penanggulangannya bila terjadi wabah atau kejadian luar biasa, perlu dilaksanakan surveilans infeksi nosokomial di rumah sakit.

Surveilans adalah pengamatan yang sistematis aktif dan terus menerus terhadap timbulnya penyebaran penyakit pada suatu populasi serta keadaan atau peristiwa yang menyebabkan meningkat atau menurunnya resiko untuk terjadinya penyebaran penyakit. Analisa data dan penyebaran data yang teratur merupakan bagian penting dalam prose situ.

Kegiatan surveilans eliputi :

A. MERUMUSKAN KASUS / KRITERIA DIAGNOSTIK
Kasus yang akan disurvei perlu dirumuskan atau dibuat suatu criteria diagnostic yang jelas dan teliti yang perlu ditaati secar konsisten dalam proses pengumpulan data terutama beberapa jenis penyakit infeksi yang sering terjadi di rumah sakit.. Ada beberapa rumusan kasus / criteria diagnostic yang akan dibicarakan dibawah ini :

1. Infeksi Luka Operasi
Infeksi luka operasi nosokomial adalah infeksi yang terjadi pada operasi bersih atau operasi bersih tercemar, atau pada infeksi dapat di kultur kuman yang berasal dari rumah sakit.

Infeksi luka operasi dibedakan menjadi :
1.1. Luka operasi superficial :
- Infeksi terjadi dalam waktu 30 hari setelah operasi.
- Dan Infeksi terjadi pada luka insisi.
- Meliputi kulit, subkutan atau otot diatas fasia.
- Salah satu criteria berikut :
- Pus dari luka atau dren diatas fasia.
- Biarkan mikroorganisme positif dari cairan luka.
- Ahli bedah membuka luka operasi karena ada tanda inflamasi.

Luka operasi profunda
- Infeksi terjadi dalam waktu 30 hari setelah operasi bila tak ada implant / protheses atau infeksi terjadi dalam satu tahun bila dipasang implant.
- Infeksi ada hubungannya dengan operasi tersebut.
- Meliputi jaringan atau rongga dibawah fasia.
- Salah satu dari criteria berikut :
- Pus dari drain dibawah fasia.
- Luka operasi dihisensi secara spontan atau dibuka oleh ahli bedah sewaktu pasien demam 380C dan atau terdapat nyeri local.
- Abses atau tanda infeksi lain yang langsung terlibat waktu pemeriksaan, waktu operasi atau secara histopatologis.

1.3. Infeksi luka operasi pada neonatus
- Gejala timbul dalam 1 – 2 minggui berupa tanda – tanda radang ditempat / disekitar luka operasi seperti panas, merah, bengkak, bernanah dan disertai gejala umum : malas minum,, hipotermi / hipertermi, takikardia / apnea, hipoglikemia, muntah dan sebagainya.
- Tanda – tanda infeksi terdapat dipermukaan atau lebih dalam sehingga menimbulkan gejala sepsis.
- Biakan dari nanah didapat Gram positif atau Gram negative.

1.4. Infeksi luka operasi pada anak
- Ada tanda radang seperti panas, bengkak, merah dan adanya pus ditempat operasi, selulitus atau sepsis pada infeksi yang lebih dalam dengan gejala panas, muntah, anak gelisah.
- Biakan kuman : Gram positif atau Gram negative.

Jenis Operasi :
a. Operasi Bersih :
- Operasi pada kasus non trauma.
- Operasi yang tak mengenal daerah dengan tanda infeksi.
- Operasi yang tak membuka respiratori, urinarius.
- Umumnya luka operasi ditutup primer dan tak dipasang drain.

Mis : FAM, hernia, lipoma, tiroid, internal fixasi pada fraktur – fraktur tertutup.

b. Operasi bersih tercemar :
- Operasi membuka disgestivus dengan pencemaran nyata.
- Operasi membuka biliair dengan empedu yang terinfeksi.
- Operasi membuka urinarius dengan urine yang terinfeksi.
- Operasi membuka respiratorius dengan infeksi respiratoris.
- Operasi pada luka karena trauma yang bersih dan kurang dari 6 jam.

Mis : Appendektomi akut dan kronis, kholesistektomi, section alta.

c. Operasi Tercemar :
- Operasi membuka getivus dengan pencemaran nyata.
- Operasi membuka billiard dengan empedu yang terinfeksi.
- Operasi membuka urinarius dengan urine yang terinfeksi.
- Operasi membuka respiratorius dengan infeksi respiratoris.
- Operasi pada luka karena trauma yang bersih dan kurang dari 6 jam.

Mis : Kholesistektomi pada empyeme KE, operasi membuka kolon dengan pencemaran isi usus luka tusuk tanpa menembus.

d. Operasi kotor :
- Operasi perforasi digestivus, billair, urinarius, respiratosius.
- Operasi yang mengenai daerah inflamaasi bakteriel.
- Operasi melalui daerah bersih untuk membuka bases.
- Operasi luka trauma dengan ada jaringan yang non vital / benda asing / kontaminasi feces, kejadian ditempat yang kotor, pertolongan / operasi dilakukan 6 jam setelah trauma.

Mis : Traimatic mputasi, trauma tumpul abdomen dengan perforasi usus, trauma kotor dengan korpus alineum.

2. Infeksi Saluran Kemih ( ISK )
Infeksi saluran kemih nosokomial ialah infeksi saluran kemih yang pada pasien masuk rumah sakit belum ada atau tidak dalam masa inkubasi dan didapat sewaktu dirawat atau sesudah dirawat.
Infeksi saluran kemih dapat disebabkan :
a. Endogen : - perubahan flora normal.
b. Eksogen : - prosedur yang tidak bersih / steril
- tangan yang tidak dicuci sebelum prosedur.

2.1. Infeksi Saluran Kemih Simtomatik.
Dengan salah satu kriteria dibawah ini :
* Salah satu gejala ini :
- Demam > 380C
- Disuria
- Nikuria ( urgency )
- Polakisuria
- Nyeri Suprapubik.

Dan biakan urin > 100.000 kuman / ml dengan tidak lebih dari dua jenis mikroorganisme :
* Dua dari gejala :
- Demam 380C
- Disuria
- Nikuria
- Polakisuria
- Nyeri Suprapubik

* dan salah satu tanda :
- Tes carik celup ( dipstick ) positif untuk leukosit esterase dan atau nitrit.
- Pluria ( 10 lekosit/ml atau > 3 lekosit /LPB pada urine yang tidak disentrifus.
- Mikroorganisme positif pada pewarnaan gram pada urine yang tidak disentlifus.
- Biakan urine dua kali dengan hasil kuman uropatogen yang sama dengan jumlah > 100.000 kuman/ml dari urin yang diambil secara steril.
- Biakan urin dengan hasil satu jenis kuman uropatogen dengan jumlah 100.000 kuman/ml dan pasien diberi antibiotic yang sesuai.
- Diagnosis oleh dokter.
- Dokter memberikan terapi antibiotika yang sesuai.

2.2. Infeksi saluran kemih asimtomatik
Dengan salah satu criteria dibawah ini :
* memakai kateter dower selama 7 hari sebelum biakan urin dan tak ada gejala :
- Demam 380C
- Disuria
- Nikuria
- Polakisuria
- Nyeri suprapubik

Biakan urin dengan jumlah > 100.000 kuman/ml urin dengan tak lebih dari dua jenis kuman.

* tidak memakai kateter dower selama 7 hari sebelum biakan urin dengan dua kali hasil biakan > 100.000/ml dengan mikroorganisme yang sama yang tak lebih dari dua jenis dan tak ada gejala :
- Demam 380C
- Disuria
- Nikuria
- Polakisuria
- Nyeri Suprapubik

2.3. Infeksi Saluran Kemih lain.
( dari ginjal, ureter, kandung kemih, uretra atau jaringan retroperito neal atau rongga perinefrik ) dengan salah satu criteria dibawah ini :
• Biakan positif dari cairan atau jaringan yang diambil dari lokasi yang dicurigai.
• Ditemukan abses atau tanda infeksi pada pemeriksaan atau operasi atau secara hispatologis.
• Dua dari gejala :
- Demam 380C
- Nyeri local pada daerah yang dicurigai.
- Nyeri tekan pada daerah yang bersangkutan.
• Dan salah satu dari tanda :
- Drenase purulen dari daerah yang dicurigai.
- Biakan darah positif
- Radiologi terdapat tanda infeksi
- Diagnosis dokter
- Dokter memberikan terapi antibiotika yang sesuai
• Pasien berumur < 12 bulan dengan salah satu gejala :
- Demam 380C
- Hipotermia
- Apneu
- Bradikardi
- Disuria
- Letargi
- Muntah
• Dan salah satu dari tanda :
- Drenase purulen dari daerah yang dicurigai.
- Biakan darah positif
- Radiologi terdapat tanda infeksi
- Diagnosis dokter
- Dokter memberikan terapi antibiotika yang sesuai.

2.4. Infeksi Saluran Kemih pada neonatus
- Bayi tampak tidak sehat, kuning, muntah, hipertermi/ hipotermi, gagal tumbuh ( gejala sama dengan sepsis ).
- Infeksi ini dapat pula disebabkan oleh sepsis.
- Laboratorium : pemeriksaan mikroskopik dan biakan urin dari punksi suprapubik. Biakan urin positif kalau ditemukan kuman lebih dari 100.000/ml urin.

2.5. Infeksi Saluran Kemih pada Anak
- Dapat dengan atau tanpa gejala. Makin muda usia anak makin tidak khas.
- Gejala : panas, nafsu makan berkurang, gangguan pertumbuhan, kadang – kadang diare atau kencing yang sangat berbau.
- Pada usia prasekolah gejala klinis berupa sakit perut, muntah, panas, sering kencing dan ngompol. Pada anak yang lebih besar gejala spesifik makin jelas seperti ngompol, sering kencing, sakit waktu kencing atau nyeri pinggang.
- Gejala infeksi timbul sesudah dilakukan punksi suprapubik, kateterisasi buli – buli.
- Apabila biakan kuman dalam urin pada waktu masuk dan saat diperiksa berbeda.
- Diagnosis : Klinik dan laboratorik.
- Laboratorik : hasil biakan urin yang diambil melalui suprapubik dikatakan positif apabila jumlah kuman sama atau lebih dari 200/ml urin. Dan apabila melalui urin pancaran tengah atau kateterisasi kandung kemih maka jumlah kuman dalam urin 100.000 atau lebih/ml urin.
- Pemeriksaan lainnya : sediment urin terdapat piuria.

3. Infeksi Aliran Darah Primer ( IADP )
3.1. Definisi Infeksi Aliran Darah Primer
Infeksi Aliran Darah Primer adalah infeksi aliran darah yang timbul tanpa ada organ atau jaringan lain yang dicurigai sebagai sumber infeksi. Criteria infeksi aliran darah primer dapat ditetapkan secara klinis dan laboratories dengan gejala / tanda berikut :

3.1.1. Klinis
1). Untuk Dewasa dan anak > 12 bulan.
Ditemukan salah satu diantara gejala berikut tanpa penyebab lain :
- Suhu > 380C, bertahan minimal 24 jam dengan atau tanpa pemberian antipiretika.
- Hipotesi, sistolik < 90 mmHg.
Oliguri, jumlah urin < 0,5 cc/kbBB/jam
Dan
Semua gejala / tanda yang disebut dibawah ini :
- Tidak ada tanda – tanda infeksi di tempat lain.
- Telah diberikan antimikroba sesuai dengan sepsis.

CATATAN :
- Suhu badan diukur secara aksiler selama 5 menit dan diulang setiap 3 jam,
- Apabila pasien menunjukkan gejala, suhu tubuh diukur secara oral atau rectal.

2). Untuk bayi umur 12 bulan. Ditemukan salah satu gejala / tanda berikut tanpa penyebab lain :
- Demam > 380C
- Hipotermi < 370C
- Apnea
- Bradikardi < 100x/mnt
Dan
Semua gejala / tanda di bawah ini :
- Tidak terdapat tanda – tanda infeksi ditempat lain.
- Diberikan terapi antimikroba sesuai dengan sepsis.

3) Untuk Neonatus
Dinyatakan menderita infeksi aliran darah primer apabila terdapat 3 atau lebih diantara enam gejala berikut :
- Keadaan umum menurun antara lain : malas minum, hipotermi (< 370C) hipertermi ( 380C ) dan sklerema.
- Sistem kardiovaskuler antara lain :
tanda renjatan yaitu takikardi, 160/mnt atau bradikardi, 100/mnt dan sirkulasi perifer buruk.
- Sistem pencernaan antara lain : distensi lambung, mencret, muntah dan hepatomegali.
- Sistem pernafasan antara lain : nafas tak teratur, sesak, apnea dan takipnea.
- Sistem saraf dan pusat antara lain : hipertermi otot, iritabel, kejang dan letargi.
- Manifestasi hematology antara lain : pucat, kuning, splenomegali dan perdarahan.
Dan
Semua gejala / tanda di bawah ini :
- Biakan darah tidak dikerjakan atau dikerjakan tetapi tidak ada pertumbuhan kuman.
- Tidak terdapat tanda – tanda infeksi ditempat lain.
- Diberikan terapi antimikroba sesuai dengan sepsis.

3.1.2. Laboratorik
Untuk orang dewasa dan anak umur > 12 bulan.
Ditemukan satu diantara 2 kriteria berikut :
1). Kuman pathogen dari biakan darah dan kuman tersebut tidak ada hubungannya dengan infeksi ditempat lain.
2). Ditemukan satu diantara gejala klinis berikut :
- Demam > 380C.
- Menggigil
- Hipotensi
- Oliguri
Dan
Satu diantara tanda berikut :
- Terdapat kontaminan kulit dari 2 biakan berturut – turut dan kuman tersebut tidak ada hubungannya dengan infeksi ditempat ( organ / jaringan ) lain.
- Terdapat kontaminan kulit dari biakan darah pasien yang menggunakan alat intravascular ( kateter intravena ) dan dokter telah memberikan antimikroba yang sesuai dengan sepsis.

Untuk bayi < 12 bulan, ditemukan satu diantara gejalaberikut :
- Demam > 380C
- Hipotermi < 370C
- Apnea
- Bradikardi < 100/mnt
Dan
Satu diantara tanda berikut :
- Terdapat kontaminan kulit dari 2 biakan berturut – turut dan kuman tersebut tidak ada hubungannya dengan infeksi ditempat ( organ / jaringan lain )
- Terdapat kontaminan kulit dari biakan darah pasien yang menggunakan alat intravaskuler ( kateter intravena ) dan dokter telah memberikan antimikroba yang sesuai dengan infeksi

CATATAN :
Untuk neonatus digolongkan infeksi nosokomial apabila :
1. Pada partus normal di rumah sakit infeksi terjadi setelah lebih dari 3 hari.
2. Terjadi 3 hari setelah partus patologik, tanpa didapatkan pintu masuk kuman.
3. Pintu masuk kuman jelas misalnya luka infuse.


B. PENGUMPULAN DATA SURVEILANS INFEKSI NOSOKOMIAL
Data minimal yang perlu dikumpulkan antara lain adalah nama pasien, umur, jenis kelamin, nomor rekam medik, nama ruang, tanggal kejadian. Data lain dapat dikumpulkan hanya apabila akan dilakukan analisis, kadang – kadang dicatat juga diagnosis primer invasive yang dilakukan sebelum terjadi infeksi dan antibiotika yang diberikan.

1. Pengumpulan data monitoring pengendalian infeksi nosokomial
• Pelaksanaan pengumpulan data untuk infeksi luka infus ( infeksi jarum infus ) :
1. Perawat pelaksana mencatat pasien yang terpasang infus dan setiap mengganti infus pada format ” cek list monitoring infeksi pasien rawat inap ”.
2. Perawat mencatat kejadian infeksi luka infus pada format yang tersedia.
3. Tiap awal bulan kepala ruang / anggota panitia Dalin yang ditunjuk merekap kejadian infeksi luka infus.
4. Kepala ruang melaporkan kepada manajer sistem rawat inap, tembusan kepada ketua PPMK / Bidang Keperawatan dan Panitia Dalin RS.
5. Manajer sistem rawat inap melaporkan kepada Direktur untuk menjadi laporan sasaran mutu.
6. Ketua PPMK / Ka. SKF mengarsip laporan tersebut.
7. Panitia Dalin mengevaluasi dan menganalisa serta membuat laporan kepada Direktur.

• Pelaksanaan pengumpulan data untuk infeksi luka operasi :
1. Perawat IBS / ruangan mempunyai pengetahuan tentang Operasi Bersih, Operasi Bersih Terkontaminasi dan operasi kotor.
2. Perawat IBS mengisi ” check list monitoring infeksi pasien rawat inap ” terhadap semua pasien yang dilakukan tindakan operasi.
3. Perawat ruangan memonitor tanda – tanda infeksi yang terjadi pada luka operasi bersih selama dirawat di rumah sakit.
4. Perawat mencatat kejadian infeksi luka operasi bersih pada format yang tersedia.
5. Tiap awal bulan kepala ruang / anggota panitia Dalin yang ditunjuk merekap kejadian infeksi luka operasi bersih.
6. Kepala ruangan melaporkan kepada panitia Dalin.
7. Panitia Dalin mengevaluasi dan menganalisa serta membuat laporan kepada Direktur.

• Pelaksanaan pengumpulan data untuk angka kejadian decubitus :
1. Perawat pelaksana mencatat pasien yang tirah baring pada format “ check list monitoring infeksi pasien rawat inap “.
2. Perawat mencatat kejadian decubitus pada format yang tersedia .
3. Tiap awal bulan kepala ruang / anggota panitia Dalin yang ditunjuk merekap kejadian decubitus.
4. Kepala ruang melaporkan kepada manajer sistem rawat inap, tembusan kepada ketua PPMK / Bidang Keperawatan dan Panitia Dalin RS.
5. Manajer Sistem Rawat Inap melapokan kepada Direktur untuk menjadi laporan sasaran mutu.
6. Ketua PPMK / Ka. SKF mengarsip laporan tersebut.
7. Panitia Dalin mengevaluasi dan menganalisa serta membuat laporan kepada Direktur.

2. Ketua, sekretaris dan anggota Panitia Pengendalian Infeksi Nosokomial :
a. Mengevaluasi laporan / data monitoring pengendalian infeksi yang sudah tersedia.
b. Mencari penyebab, meneliti, menganalisa terjadi infeksi nosokomial bersama – sama dengan perawat dan dokter.
c. Membuat kesimpulan terjadinya infeksi kepada Direktur melalui Komite Medis.
d. Membuat laporan rekapitulasi infeksi nosokomial setiap 6 bulan.
e. Untuk KLB ( Kejadian Luar Biasa ) dilaporkan setiap saat / setiap kejadian.

3. Direktur menerima laporan dari Panitia Pengendalian Infeksi Nosokomial melalui Komite Medis dan menindak lanjuti laporan tersebut.


C. PENYEBARAN DATA / INFORMASI
Data infeksi nosokomial yang sudah tersedia dan di analisa oleh Ketua Panitia Pengendalian Infeksi Nosokomial di lakukan evaluasi setiap bulan dan di analisis dalam 2 tahun sekali.
Setelah ada tindak lanjut dari Direktur, laporan di sebarluaskan atau di informasikan ke panitia pengendalian infeksi nosokomial, instalasi terkait dan semua SMF.


































BAB IV
PENGGUNAAN ANTIBIOTIK


Penyakit infeksi masih merupakan penyakit yang banyak dijumpai di Indonesia sampai saat ini, oleh akrena itu antibiotic masih tetap diperlukan. Perkembangan yang pesat di bidang Farmasi mengingkatkan produksi obat – obatan baru khususnya antibiotic. Produksi antibiotic yang meningkat menyebabkan banyaknya antibiotic yang beredar dipasaran baik dalam jumlah, jenis maupun mutu.

Untuk mencegah pemakaian antibiotic yang tidak tepat sasaran, atau kurang rasional maka perlu dibuat suatu pedoman pemakai antibiotic. Oleh karena penggunaan antibiotic yang tidak rasional akan menyebabkan timbulnya dampak negative seperti terjadinya kekebalan kuman terhadap beberapa antibiotic, meningkatnya kejadian efek samping obat, biaya pelayanan kesehatan menjadi tinggi yang pada gilirannya akan merugikan pasien.

Atas dasar semuanya ini perlu ada kebijakan rumah sakit tentang pengaturan penggunaan antibiotic agar dapat menekan serendah – rendahnya efek yang merugikan dalam pekamaian / penggunaan antibiotic.

TUJUAN
Untuk membudayakan penggunaan antibiotic secara rasional di rumah sakit sebagai upaya dalam meningkatkan mutu pelayanan sesuai dengan fungsi rumah sakit dengan tidak mengurangi tanggung jawab professional dari dokter dan apoteker dalam pengobatan terhadap pasien.

PRINSIP PENGGUNAAN ANTIBIOTIK
Pemilihan antibiotic hendaknya didasarkan atas pertimbangan berbagai factor yaitu spectrum antibiotic, efektifitas, sifat – sifat farmakokinetik, keamanan, pengalaman klinik sebelumnya, kemungkinan terjadinya resistensi kuman, super infeksi dan harga yang terjangkau.

Arti penting dari pertimbangan factor – factor ini tergantung dari derajat penyakit dan tujuan pemberian antibiotic apakah untuk profilaksis atau untuk terapi. Diagnose penyebab infeksi sedapat mungkin ditegakkan melalui tata laksana pemeriksaan mikrobiologi klinik yang relevan beserta interprestasi antibiogram yang memadai dan informasi klinik / farmasi klinik mengenai jenis – jenis antibiotic yang tersedia.
Idealnya setiap pasien infeksi perlu dilakukan pemeriksaan mikrobiologis yaitu pembuatan sediaan Gram, kultur kuman dan uji kepekaannya untuk menunjang diagnose klinis dan pemberian pengobatan yang tepat.

Kultur kuman dan uji kepekaan terhadap antibiotic harus dilakukan pada penyakit – penyakit berikut : sepsis, meningitis, peritonitis, salmonelosis, sigelosis, keracunan makanan karena bakteri, ISPA, tuberculosis dan kandidiasis. Pengambilan spesiman pemeriksaan mikrobiologis dilakukan sebelum pengobatan.
Dalam hal uji biakan dan uji kepekaan kuman belum ada hasilnya atau tidak bisa dikerjakan, pemilihan antibiotika ditentukan berdasarkan penilaian klinik penderita, jadi bukan semata – mata atas dasar hasil biakan kuman.

PEMBERIAN ANTIBIOTIK
1. Profilaksis
• Bedah
• Medik
3. Terapetik
• Secara Empirik ( educated guess )
• Secara definitive ( pasti)

Pada antibiotic profilaksis bedah tujuan utama adalah untuk mengurangi terjadinya ILO dengan mengupayakan konsentrasi antibiotic yang mematikan mikroorganisme pada saat sayatan dimulai sampai operasi selesai.
Secara spesifik antibiotic profilaksis bedah adalah untuk mencegah :
• Infeksi yang sering terjadi.
• Terjadi infeksi local yang berat ( pada protesis sendi, protesis vaskuler ).
• Kemungkinan terjadinya infeksi sistemik yang berat pada pasien yang beresiko tinggi.
• Kemungkinan infeksi fatal ( operasi penggantian katup jantung ).

Syarat pemberian profilaksis adalah antibiotic yang tepat, harus diberikan dalam jangka waktu yang tepat pada lokasi yang tepat dan konsentrasi yang tepat. Antibiotik haus diberikan dengan cara yang tepat tidak boleh mengganggu pasien atau lingkungannya, tidak boleh menyebabkan kekebalan dan harganya murah.
Dalam memilih antibiotic profilaksis hendaknya diperhatikan hal – hal sebagai berikut :
• Spektrum bakterisida.
• Kemungkinan resistensi
• Cara pemberian dan penyerapannya.
• Konsentrasi pada lokasi infeksi.
• Lama bekerja
• Metabolisme
• Bukti klinis yang baik
• Toksisitas yang rendah
• Efek samping
• Harga.


BAB V
PENUTUP


Tata laksana yang dicantumkan merupakan prosedur baku maksimal yang harus diupayakan untuk dilaksanakan seluruhnya oleh setiap personil Rumah Sakit yang terlibat dan berlaku sietiap ruang terkait. Disadari bahwa keterbatasan sarana dan prasarana serta sumber daya dan dana masih merupakan kendala di RS. Islam Klaten.

Namun keterbatasan ini tidak dapat dipergunakan sebagai alas an untuk menurunkan baku prosedur pelayanan kesehatan yang harus dberikan kepada pasien. Dengan memiliki pengetahuan dan sikap yang memadai, diharapkan semua personil Rumah Sakit akan memeiliki perilaku dan kemampuan yang memadai pula dalam memanfaatkan sarana dan prasarana yang tersedia secara bertepat guna dan berhasil guna dalam pengendalian infeksi nosokomial secara berencana dan terorganisir dengan baik merupakan suatu keharusan bagi setiap rumah sakit.




Pokja Pengendalian Infeksi rumah sakit

KEPUSTAKAAN


Ahmad Djojosugito dkk : Buku Manual Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit, Jakarta 2000.






Rabu, 28 Oktober 2009

PEDOMAN PENGENDALIAN INFEKSI NOSOKOMIAL











RS. ISLAM
K L A T E N









PANITIA PENGENDALIAN INFEKSI NOSOKOMIAL
RS. ISLAM KLATEN
2007

DAFTAR ISI




Daftar Isi

BAB I Batas – Batasan
Batasan Umum

BAB II Batasan Khusus
ILO ( Infeksi Luka Operasi )
PNEUMONIA
Infeksi Saluran Kelamin ISK
Infeksi Aliran Darah Primer ( IADP )

Surat Keputusan


BAB I
BATASAN – BATASAN



1.1. BATASAN UMUM

INFEKSI NOSOKOMIAL (Hospital Acquaried Infection / Nosokomial Infection)
Adalah infeksi yang di dapat penderita ketika penderita tersebut di rawat di rumah sakit.

Suatu infeksi dikatakan didapat di rumah sakit apabila :
1. Pada waktu penderita mulai dirawat di Rumah Sakit tidak di dapatkan tanda – tanda klinik dari infeksi tersebut.
2. Pada waktu penderita mulai di rawat di Rumah Sakit tidak sedang dalammasa inkubasi dari infeksi tersebut.
3. Tanda – tanda klinik infeksi tersebut baru timbul sekurang kurangnya setelah 3 x 24 jam sejak mulai perawatan.
4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa ( residual) dari infeksi sebelumnya.
5. Bila saat mulai di rawat di rumah sakit sudah ada tanda – tanda infeksi, dan terbukti infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat di Rumah Sakit yang sama pada waktu yang lalu serta belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial.


CATATAN :

A. Bila tanda – tanda infeksi sudah timbul pada masa kurang dari 3 x 24 jam sejak mulai perawatan tergantung masa inkubasi dari masing – masing jenis infeksi.
B. Untuk penderita yang setelah keluar Rumah Sakit kemudian timbul tanda – tanda infeksi, baru dapat digolongkan sebagai Infeksi Nosokomial apabila infeksi tersebut dapat dibuktikan berasal dari Rumah sakit.
C. Tidak termasuk infeksi nosokomial ialah : keracunan makanan yang tidak disebabkan oleh produk bakteri.


BAB II



1.2. BATASAN KHUSUS

1. ILO ( Infeksi Luka Operasi )
Untuk membahas infeksi luka operasi nosokomial perlu diketahui klasifikasi luka operasi sebagai berikut :

1.1. DEFINISI DAN KLASIFIKASI LUKA OPERASI

LUKA OPERASI BERSIH
1. Operasi dilakukan pada daerah / kulit yang pada kondisi pra bedah tanpa peradangan dan tidak membuka traktus respiratorius, traktus gastro intestinal, orofaring,, traktus urinarius atau traktus bilier.
2. Operasi berencana dengan penutupan kulit primer dengan atau tanpa pemakaian drain tertutup.

LUKA OPERASI BERSIH TERKONTAMINASI
1. Operasi membuka traktus digestive, traktus bilier, traktus urinarius, traktus espiratorius sampai dengan orofaring, traktus reproduksi kecuali ovarium.
2. Operasi tanpa pencemaran nyata ( Gross spilage ) contoh : operasi traktus bilier, apendiks, vagina atau orofaring.

LUKA OPERASI KOTOR / DENGAN INFEKSI
1. Pada perforasi traktus digestive, traktus urogenitalis atau traktus respiratorius yang terinfeksi.
2. Melewati daerah purulen ( inflamasi bacterial ).
3. Pada luka terbuka lebih dari 6 jam setelah kejadian atau terdapat jaringan non vital yang luas atau yang nyata kotor.
4. Dokter yang melakukan operasi menyatakan sebagai luka operasi / terinfeksi.

1.2. DEFINISI INFEKSI LUKA OPERASI
Infeksi luka operasi dibedakan menjadi :
Disebut Infeksi Luka Operasi ( ILO) Superfisial apabila didapat :
Infeksi terjadi dalam 30 hari pasca bedah dan terjadinya pada kulit dan subkutan disertai salah satu tersebut dibawah ini :
• Keluar nanah dari luka operasi.
• Terisolasi kuman pada ultur yang diambil dari cairan atau jaringan.
• Salah satu dari tanda dibbawah ini nyeri, pembengkakan, merah, lebih panas dan ahli bedah sengaja membuka luka kecuali apabila kultur tidak menunjukkan adanya pertumbuhan kuman.
• Rekomendasi dokter.

Disebut ILO DALAM ( PROFUNDA ) apabila didapat :
Infeksi terjadi 30 hari pasca bedah bila tanpa “ IMPLANT “ atau “ 1 “ ( satu ) tahun pasca bedah bila ada “ IMPLANT “ dan infeksi ini meliputi jaringan lebih dalam dari fisia. Disertai salah satu tersebut dibawah ini :
a. Keluar nanah dari luka operasi.
b. Terjadi dehisensi luka secara spontan atau luka sengaja dibuka oleh dokter apabila disertai dengan salah satu dari gejala panas ( 380C ) atau nyeri local kecuali bila kultur tidak menunjukkan adanya kuman.
c. Adanya abses atau dibuktikan adanya abses dbawah fascia pada operasi ulang atau pemeriksaan PA atau radiology menunjukkan gambaran infeksi.
d. Rekomendasi dokter.

Disebut ILO bersih terkontaminasi apabila infeksi terjadi pada operasi bersih terkontaminasi dan memenuhi criteria ILO dalam.

Operasi terkontaminasi atau operasi kotor dinyatakan infeksi nosokomial apabila dapat dibuktikan bahwa penyebab infeksi adalah kuman yang berasal dari Rumah Sakit atau ditemukan kuman strain lain dari kuman yang ditemukan sebelum masuk Rumah Sakit.

Catatan :
• Didalam penggunaan antibiotic yang irasonal jika ditemukan tanda peradangan maka dimasukkan kedalam kemungkinan infeksi.
• Abses jahitan yang sembuh 3 hari setelah jahitan diangkat bukan infeksi operasi.

1.3. FAKTOR RESIKO INFEKSI LUKA OPERASI
1. Tingkat kontaminasi luka.
2. Faktor pejamu :
• Usia estrim ( sangat muda / tua )
• Obesitas
• Adanya infeksi perioperatif
• Pengguna kortikosteroid
• Diabetes Mellitus
• Malnutrisi Berat
3. Faktor lokasi luka :
• Pencukuran daerah operasi ( cara dan waktu pencukuran ).
• Devitalisasi jaringan.
• Benda asing.
• Suplai darah yang buruk ke daerah operasi.
• Lokasi luka yang mudah tercemar ( dekat perineum )
4. Lama perawatan sebelum operasi.
5. Lama operasi.

PETUNJUK PENGEMBANGAN SURVEILANS INFEKSI LUKA OPERASI
1. Semua factor resiko harus dicatat dengan lengkap pada catatan pasien oleh dokter, perawat atau tim kesehatan lain yang menangani pasien ( kategori I ).
2. Klasifikasi operasi harus dicatat pada laporan operasi atau pada catatan pasien oleh ahli bedah segera setelah pasien di operasi ( kategori II ).
Petunjuk surveilans yang dimaksud adalah variable spesifik untuk masing – masing lokasi infeksi. Variabel lain seperti : umur, jenis kelamin, unit / bagian dll, sama untuk semua lokasi infeksi.
3. Pelaksanaan surveilans harus menghitung rate menurut klasifikasi luka operasi spesifik minimal setiap 6 bulan sekali, melaporkannya pada Pokja Pengendalian Infeksi Rumah Sakit ( kategori I ).
4. Pelaksana surveilans menghitung rate menurut prosedur spesifik setiap 6 bulan sekali dan melaporkannya pada Pokja pengendalian Infeksi serta para ahli bedah ( kategori II )>

1.5. PENCEGAHAN INFEKSI LUKA OPERASI
Tindakan pencegahan dikelompokkan dalam :
KALA SEBELUM MASUK RUMAH SAKIT
1. Semua pemeriksaan dan pengobatan untuk persiapan operasi sebisanya dilakukan sebelum rawat inap agar waktu pra bedah menjadi pendek ( kurang 1 hari ) ( kategori II ).
2. Perbaikan keadaan yang memperbesar kemungkinan terjadinya ILO antara lain :
• Diabetes Melitus
• Obesitas
• Pemakaian kortikosteroid
• Malnutrisi
• Infeksi

KALA PRA OPERASI
1. Perawatan pra operasi I hari untuk operasi berencana. Aapbila keadaan yang memperbesar terjadinya ILO tidak dapat dilakukan di luar Rumah Sakit misalnya malnutrisi berat yang memerlukan oral atau parenteral hiperalimentasi, maka pasien dapat dirawat lebih awal ( kategori I )
2. Pasien dari ruangan ganti baju khusus untuk operasi di ruang ganti baju IBS ( Instalasi Bedah Sentral ).
3. mandi dengan antiseptic dilakukan sebelum operasi ( kategori III )
4. Pencukuran rambut daerah operasi dilakukan hanya bilamana perlu misalnya daerah operasi dengan rambut yang lebat.

Cara pencukuran rambut adalah :
• Bila menggunakan pisau cukur biasa maksimal dilakukan 6 jam sebelum operasi.
• Bila menggunakan pisau cukur listrik dapat dilakukan lebih lama sebelum operasi dari pada pisau cukur biasa.
• Setelah dicukur diolesi antiseptic ( kategori III ).
5. Daerah operasi harus dicuci dengan pemakaian antiseptic kulit dengan tehnik dari sentral kearah luar. Antiseptik kulit yang dipakai dianjurkan klorheksidin, larutan yodium atau lodofor ( kategori I ).
6. Dikamar operasi pasien ditutup dengan doek steril sehingga hanya daerah operasi yang terbuka ( kategori I ).
7. Antibiotika profilaksis diberikan secara :
a. Sistemik harus memenuhi syarat
• Tepat dosis
• Tepat indikasi ( hanya untuk operasi bersih terkontaminasi, pemakaian implant dan protesis atau operasi dengan resiko tinggi seperti bedah vaskuler atau bedah jantung ).
• Tepat cara pemberian ( harus diberikan secara IV 2 jam sebelum incise dilakukan dan dilanjutkan tidak boleh lebih dari 48 jam ).
• Tepat jenis ( sesuai dengan mikroorganisme yang sering menjadi penyebab ILO ) ( kategori I )
b. Oral hanya digunakan untuk operasi kolorektal dan diberikan tidak lebih dari 24 jam.

Catatan :
Antimikroba yang diberikan pada luka operasi kotor dimasukkan dalam kelompok terapeutik.

PERSIAPAN TIM PEMBEDAHAN
1. Setiap orang yang masuk kamar operasi harus :
• Memakai masker yang efisien, menutupi hidung dan mulut.
• Memakai tutup kepala yang menutupi semua rambut.
• Memakai sandal khusus kamar operasi atau memakai pembungkus sepatu ( kategori I ).
3. Anggota tim bedah sebelum setiap operasi harus mencuci tangan.
4. Antiseptik yang dianjurkan untuk cuci tangan khlorheksidin, lodofor atau heksaklorofen ( kategori II ).
5. Setelah cuci tangan, keringkan dengan handuk steril ( kategori II )
6. Setiap anggota tim harus memakai jubah steril ( kategori I )
7. Setiap anggota tim harus memakai sarung tangan steril apabila sarung tersebut kotor, harus diganti yang baru. Pemakaian sarung tangan memakai metode tertutup ( kategori I ).
8. untuk operasi tulang atau pemasangan implant memakai 2 lapis sarung tangan steril ( kategori II ).

INTRA OPERASI
1. Tehnik operasi : harus dilakukan dengan sempurna untuk menghindari kerusakan jaringan lunak yang berlebihan, menghilangkan rongga, mengurangi perdarahan dan menghindarkan tertinggalnya benda asing yang tidak diperlukan ( kategori I ).
2. lama operasi : operasi dilakukan secepat – cepatnya dalam batas yang aman ( kategori I )
3. pemakai drain : pemakaian drain harus dengan system tertutup, baik dengan cara penghisapan atau dengan cara memakai gaya tarik bumi ( gravitasi ) dan drain harus melalui luka tusukan di luar luka operasi ( kategori I ).

PERAWATAN PASCA OPERASI
1. Untuk luka kotor atau infeksi, kulit tidak ditutup primer ( kategori I ).
2. petugas harus mencuci tangan dengan standar cuci tangan yang baku sebelum dan sesudah merawat luka. Petugas tidak boleh menyentuh luka secara langsung dengan tangan kecuali setelah memakai sarung tangan steril ( kategori I )
3. Kasa penutup luka diganti apabila basah dan atau menunjukkan tanda – tanda infeksi.
4. Jika cairan keluar dari luka, lakukan pewarnaan gram dan biakan ( kategori I )

PENGENDALIAN LINGKUNGAN
1. Semua pintu kamar operasi harus tertutup dan jumlah personil yang keluar masuk kamar operasi harus dibatasi ( kategori I ).
2. Alat – alat operasi setelah dibersihkan dari jaringan, darah atau sekresi harus disterilkan dengan autoklaf.
3. Kamar operasi harus dibersihkan :
• Antara 2 operasi.
• Tiap hari walaupun kamar operasi tidak dipakai.
• Tiap minggu ( 1 hari untuk pembersihan menyeluruh ) ( kategori I )
4. Pemakaian keset dengan antiseptic pada pintu masuk kamar operasi tidak dianjurkan ( kategori I )
5. Biakan udara dan biakan yang diambil dari personil kamar operasi secara rutin, tidak diperlukan ( kategori I )
6. Operasi bersih dilakukan sebelum operasi kotr, jika akan dipakai untuk operasi berikutnya harus dibersihkan secara sempurna ( kategori I ).
7. Barang – barang terkontaminasi seperti pus, harus dikumpulkan terpisah dan di beri tanda kontaminasi ( kategori I ).
8. untuk operasi pasien infeksi misalnya hepatitis, usahakan memakai alat sekali pakai dikumpulkan secara khusus dan diberi tanda infeksi ( kategori I ).

2. PNUEMONIA
2.1. DEFINISI PNEUMONIA
Pneumonia suatu infeksi saluran pernafasan bagian bawah ( ISPB )
Seorang pasien dikatakan menderita pneumonia bila ditemukan satu diantara kriteria berikut ini :
Untuk dewasa dan anak > 12 bulan.
Kriteria I : Pada pemeriksaan fisik terdapat ronki basah atau pekak ( dullness ) pada perkusi, febris > 380C dan salah satu keadaan berikut :
• Baru timbulnya sputum purulen atau terjadinya perubahan sifat sputum.
• Isolasi kuman positif biakan darah.
• Isolasi kuman pathogen positif dari aspirasi trakea, sikatann / cuci bronkus atau biopsi.

Kriteria II : Foto thorax menunjukkan adanya infiltrate, konsolidasi, kavitasi, efusi pleura baru atau progesif dan salah satu diantara keadaan berikut :
• Baru timbulnya sputum purulen atau terjadinya perubahan sifat sputum.
• Isolasi kuman positif dan biakan darah.
• Isolasi kuman pathogen positif dari aspirasi trakea, sikatan / cuci bronkus atau biopsi.
• Virus dapat diisolasi atau terdapat antigen virus dalam sekresi saluran nafas.
• Titer IgM atau IgG spesifik meningkat 4x lipat dalam 2 kali pemeriksaan.
• Terdapat tanda – tanda pneumonia pada pemeriksaan hispatologi.

Kriteria III : Penderita berusia < 12 bulan dengan 2 ( dua ) tanda dari tanda – tanda dibawah ini :
• Apnea.
• Bradikardi
• Whezing
• Brachipnea
• Ronki atau batuk disertai salah satu dari keadaan.

Kriteria IV: Pada anak berusia < 12 bulan yang pada foto toraknya menunjukkan infiltrasi cara yang progesif, cavitas, konsolidasi atau adanya “ pleural effusion “ disertai sesuai dengan salah satu keadaan seperti criteria 3.



2.2. FAKTOR RESIKO PNEUMONIA

1. Instrumentasi system saluran pernafasan misalnya pada pemasangan pipa endotrakea, ventilasi mekanis dan trakeostomi.
2. Tindakan operasi terutama operasi thorax dan abdomen.
3. Kondisi yang mudah menyebabkan aspirasi misalnya pada pemasangan pipa lambung ( Nasogastrik tube ), penurunan kesadaran dan disfagia.
4. Usia tua.
5. obesitas
6. Penyakit obstruksi paru menahun
7. Tes fungsi paru abnormal (terutama dengan penurunan kecepatan ekspirasi).
8. Intubasi dalam waktu lama.
9. Gangguan fungsi imunologi.

2.3. PETUNJUK PENGEMBANGAN SURVEILANS PENUMONIA
1. Semua faktor resiko harus dicatat dengan lengkap pada catatan pasien oleh dokter, perawat atau anggota tim kesehatan lainyang menangani pasien ( kategori I ).
2. Pelaksana surveilans harus menghitung rate menurut faktor resiko spesifik minimal jenis operasi thorax dan abdomen dan ventilator serta melaporkannya kepada Pokja Pengendalian Infeksi rumah sakit minimal 6 bulan sekali.

2.4. PENCEGAHAN PNEUMONIA
Pencegahan pneumonia nosokomial dilakukan dengan cara berikut :
Pencegahan pneumonia pasca bedah :
1. Pencegahan pra dan pasca bedah ditujukan pada :
• Pasien yang akan mendapat pembiusan dan menjalani pembedahan thorax dan abdomen.
• Disfungsi paru berat.
• Kelainan paru.
Pengelolaan pra dan pasca bedah meliputi pengobatan dan instruksi medis dan keperawatan.
2. Pengolahan pra bedah meliputi :
• Pengobatan atau resolusi infeksi paru.
• Mempermudah pengeluaran sekret saluran nafas ( bronkodilator, drainase postural, perkusi ).
• Berhenti merokok ( kategori I ).
3. Instruksi pra bedah meliputi :
• Diskusi dengan pasien mengenai pentingnya sering batuk, nafas dalam dan mobilisasi pasca bedah.
• Pasien memperagakan cara batuk dan nafas dalam pra dan pasca bedah ( kategori III ).
4. Pengobatan dan instruksi pasca bedah ditujukan untuk mendorong pasien sering batuk, nafas dalam dan ambulasi jika tidak ada kontra indikasi secara medis ( kategori I ).
5. Bila secara konservatif diatas gagal untuk mengeluarkan sekret saluran nafas dapat dikerjakan drainase postural dan perkuasi ( kategori II )
6. Nyeri akibat batuk dan nafas dalam dapat diatasi dengan analgetik dan menopang luka di daerah perut ( misalnya dengan meletakkan bantal kecil dan ringan diatas perut ) serta memberi obat penghambat syaraf local ( kategori I ).
7. Antibiotika sistemik tidak dianjurkan untuk dipakai secara rutin( kategori I ).

CUCI TANGAN
Cuci tangan dilakukan setiap kali kontak dengan sekret saluran nafas baik dengan atau tanpa sarung tangan. Cuci tangan juga dilakukan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien yang mendapat intubasi dan trakeostomi ( kategori I ).

CAIRAN DAN OBAT
1. Nebulisasi dan humudifikasi hanya boleh menggunakan cairan steril yang diberikan secara aseptic. Cairan tersebut tidak boleh igunakan pada alat yang terkontaminasi ( kategori I ). Sisa cairan dalam botol yang sudah dibuka harus dibuang dalam waktu 24 jam ( kategori II ).
2. Bila flakon multidose digunakan untuk terapi harus disimpan dalam lemari es atau suhu kamar sesuai aturan pakai dan tidak melewati tanggal kadaluwarsa ( kategori II ).

PEMELIHARAAN ALAT TERAPI PERNAFASAN YANG SEDANG DIPAKAI
• Penampungan cairan harus diisi segera sebelum dipakai bila cairan hendak ditambahkan maka sisa cairan harus dibuang terlebih dahulu ( kategori II ).
• Air yang telah mengembun dalam pipa harus dibuang dan tidak boleh dialirkan balik kedalam penampung ( kategori I )
• Alat nebulisasi dinding dan penampungannya harus segera diganti secara rutin setiap 24 jam dengan yang steril atau sudah di desinfeksi ( kategori I )
• Alat nebulisasi lain dan penampungannya harus diganti dengan yang steril atau di desinfeksi setiap 24 jam ( kategori I )
• Alat pelembab udara ruangan yang dapat menimbulkan tetesan tidak boleh digunakan ( kategori I )
• Alat penampung pelembab udara oksigen dinding yang dapat di pakai ulang harus di bersihkan, di cuci dan di keringkan setiap hari ( kategori II )
• Setiap pipa dan masker yang di gunakan untuk terapi oksigen harus diganti pada setiap pasien ( kategori I )
• Sirkuit alat bantu nafas termasuk pipa dan katub ekshalasi harus secara rutin diganti dengan yang steril atau sudah di desinfeksi setiap 24 jam ( kategori II )
• Bila mesin respirator digunakan untuk beberapa pasien maka pada setiap pergantian pasien semua sirkuit alat bantu nafas harus diganti dengan yang steril atau yang sudah di desinfeksi ( kategori II )

PERALATAN SEKALI PAKAI
Alat terapi pernapasan yang dirancang untuk sekali pakai tidak boleh dipakai ulang ( kategori I )
Penanganan peralatan yang dipakai ulang.
1. Setiap peralatan yang akan disterilkan atau di desinfeksi harus dibersihkan dengan seksama untuk mrnghilangkan darah, jaringan, makanan, atau residu lainnya. Peralatan harus di dekontaminasi sebelum atau selama proses pembersihan, bila alat tersebut berasal dari pasien dengan jenis isolasi tertentu, ditandai : terkontaminasi ( kategori I )
2. Alat terapi pernafasan yang menyentuh selaput lendir harus di sterilkan sebelum dipakai pada pasien lain. Jika hal ini tidak memungkinkan alat tersebut harus di desinfeksi kuat ( high level disinfection ) ( kategori I )
3. Sirkuit alat bantu nafas ( termasuk pipa dan katub ekshalasi ) dan semua alat yang berhubungan dengan terapi pernafasan harus di sterilkan atau di desinfeksi kuat ( kategori I )
4. Ruang pendingin pada alat nebulisasi ultrasonik sulit di desinfeksi secara kuat karena itu harus di sterilkan dengan gas ( etilin oksida ) atau di desinfeksi kuat sedikit selama 30 menit ( kategori I )
5. Bagian dalam mesin ventilator dan mesin pernafasantidak perlu di sterilkan atau di desinfeksi secara rutin untuk setiap pemakaian kecuali setelah alat tersebut potensial terkontaminasi dengan mikro organisme berbahaya ( ketegori I )
6. Respirometer dan alat lain yang digunakan untuk memantau pasien secara bergantian, tidak boleh langsung menyentuh bagian sirkuit alat bantu nafas, kedua alat tersebut perlu perlu penghubung dan alat penghubung ini harus diganti pada setiap pemakaian pada pasien lain. Jika tidak menggunakan penghubung dan alat pemantau langsung berhubungan dengan alat yang terkontaminasi, maka alat pemantau tersebut harus di sterilkan atau di desinfeksi kuat sebelum dipakai pasien lain ( kategori II )
7. Kantong alat resusitasi manual harus di sterilkan atau di desinfeksi kuat setiap habis dipakai ( kategori I )

PEMANTAUAN MIKROORGANISME
1. Jika tidak ada kejadian luar biasa ( KLB ) atau rate endemic infeksi paru nosokornial tidak tinggi maka proses desinfeksi alat terapa pernafasan tidak perlu dipantau dengan biakan sampel dari alat tersebut. Dengan kata lain sampel rutin tidak perlu dilakukan ( kategori I )
2. Interpretasi hasil pemeriksaan mikro biologik sulit dilakukan karena itu sampel mikro biologik rutin alat bantu nafas yang sedang dipakai pasien dianjurkan ( kategori I )

PASIEN DENGAN TRAKEOSTOMI
1. Tindakan trakeostomi harus dilakukan dikamar operasi, secara aseptik kecuali dalam keadaan darurat dapat dilakukan di ruang perawatan ( kategori I )
2. Kecuali luka trakeostomi sudah mulai sembuh atau membentuk jaringan granulasi sekitar pipa maka tidak boleh di sentuh dengan tangan langsung, atau setiap manipulasi kedua tangan menggunakan sarung tangan steril ( kategori II )
3. Bila diperlukan penggantian pipa trakeostomi, maka pipa pengganti harus steril atau di desinfeksi ( kategori I ). Sewaktu mengganti pipa harus digunakan tehnik aseptik termasuk penggunaan sarung tangan dan penutup ( duk ) steril ( kategori II )

PENGISAPAN SEKRET SALURAN NAFAS
1. Pengisapan sekret saluran pernafasan dilakukan hanya bila di perlukan, karena pengisapan yang terus menerus akan meningkatkan resiko kontaminasi silang dan trauma ( kategori I )
2. Pengisapan sekret saluran nafas tidak boleh dilakukan dengan tangan langsung melainkan menggunakan sarung tangan ( kategori II )
3. Setiap kali mengisap sekret saluran nafas, digunakan kateter yang steril atau kalau pemaikaiannya hanya dalam waktu singkat maka kateter dapat dipkai ulang setelah dibilas serta dibersihkan ( kategori I ).
4. Bila terdapat sekret yang kental dan kateter penghisap memerlukan bilasan, maka untuk membilas gunakan cairan steril ( kategori I )

PENGGUNAAN PIPA DAN TABUNG ASAP ADALAH SEBAGAI BERIKUT :
 Pemakaian pipa pengisap sampai batas tabung harus diganti untuk setiap pasien ( kategori I )
 Tabung pengisap yang digunakan untuk satu pasien tidak perlu diganti atau dikosongkan secara rutin ( kategori III )
 Tabung pengisap harus diganti setiap pasien kecuali pada unit perawatan jangka pendek ( tidak lebih dari 24 jam ) ( kategori II )
 Pada unit perawatan jangka pendek tabung perlu diganti setiap hari tetapi tidak perlu diganti untuk setiap pasien ( kategori II )
 Setiap kali tabung pengisap diganti harus di sterilkan atau di desinfeksi kuat ( kategori II )

PERLINDUNGAN PASIEN DARI PASIEN LAIN DAN PERSONIL
1. Lakukan isolasi pada pasien yang mungkin menyebarkan infeksi saluran nafas. Isolasi sesuai dengan teknik mutakhir
2. Personil yang terkena infeksi saluran nafas tidak boleh memberi asuhan langsung pada pasien dengan resiko tinggi ( misal : neonatal, bayi, pasien dengan obstruksi paru kronis, dan pasien dengan daya tahan tubuh menurun ) ( kategori III )
3. Bila diperkirakan ada KLB influenza lakukan pencegahan untuk semua pasien dan tugas yang memberi asuhan langsung, dengan menggunakan teknis isolasi pernafasan



3. INFEKSI SALURAN KEMIH ( ISK )
DEFINISI INFEKSI SALURAN KEMIH
Definisi ini meliputi :
1. Infeksi saluran kemih simptomatik
2. Bakteriuria asimptomatik
3. Infeksi saluran kemih lainnya

ISK SIMPTOMATIK
Seorang pasien dikatakan menderita ISK bila ditemukan satu di antara 3 kriteria berilkut :
( Untuk orang dewasa dan anak > 12 bulan )
Kriteria 1. Didapatkan salah satu dari gejala / keluhan ini :
 Demam > 380 C, axilar
 Disuri
 Polakisuri
 Nikuri ( anyang – anyangan )
 Nyeri supra pubik dan hasil biakan urin porsi tengah ( midstream ) lebih dari 105 kumam perml urin dengan jenis kumam tidak lebih dari 2 species
Kriteria 2 Ditemukan dua diantara gejala / keluhan berikut ::
 Demam > 380 C
 Disuri
 Polakisuri
 Nyeri supra pubik dan salah satu dari hal berikut :
• Tes carik celup ( diptick ) positif untuk leukosit esterase dan atau nitrit
• Piuri terdapat lebih dari 10 lekosit per ml atau terdapat lebih dari 3 lekosit per LPB 45 kali dari urin yang tidak dipusing
• Ditemukan kumam dengan pewarnaan gram dari urin yang tidak dipusing ( decentrifuge )
• Biakan urin 2 kali berturut – turut menunjukkan jenis kumam urophatogen yang sama, dengan jumlah labih dari 100 koloni kumam per ml urin yang di ambil dengan kateter
• Biakan urin menunjukkan 1 jenis urophatogen dengan jumlah < 105 koloni per ml pada penderita yang telah mendapat pengobatan anti mikroba yang sesuai
• Atau di diagnosa ISK oleh dokter yang menangani
• Telah mendapat pengobatan antimikroba yang sesuai oleh dokter yang menangani
Untuk bayi yang berumur < 12 bulan, apabila dijumpai satu kriteria tersebut dibawah ini :
Kriteria 1 Ditemukan salah satu dari tanda / gejala :
 Demam 380 C rektal
 Hipotermi < 370 C rektal
 Apnea
 Bradikardi < 100 / menit
 Disuri
 Letargi atau
 Muntah – muntah dan hasil biakan urin > 105 kumam / ml urin dengan tidak lebih dari 2 jenis kumam
Kriteria 2 Atau ditemukan salah satu dari tanda / gejala :
 Demam 380 C rektal
 Hipotermi < 370 C rektal
 Apnea
 Bradikardi < 100 / menit
 Disuri
 Letargi atau
 Muntah – muntah dan salah satu dari hal berikut
• Test carik celup positif untuk lekosit esterase dan atau nitrit
• Piuri > 10 kkosit / mm3 atau > 3 kkosit perlapangan pandang besar
• Pewarnaan gram urin tanpa dipusing menunjukkan hasil positif
• Biakan urin 2 kali berturut – turut dengan jenis kumam yang sama dengan jumlah > 100 kumam per ml urin yang diambil dengan kateter
• Pada biakan urin ditemukan satu jenis urophatogen dalam jumlah < 105 koloni kumam per ml pada penderita yang telah di beri anti mikroba
• Di diagnosa ISK oleh dokter yang menangani

BAKTERIUSASI ASIMPTOMATIK
Seorang dikatakan menderita bakteriuri asimptomatik bila di temukan satu diantara kriteria berikut :
Kriteria 1. Pasien pernah memakai kateter kandung kemih dalam waktu 7 hari sebelum biakan urin dan ditemukan biakan urin > 105 kumam per ml urin dengan jenis kumam maksimal 2 species.
TANPA gejala – gejala / keluhan : demam suhu > 380 C, polakisuri, nikuri, disuri, dan nyeri suprapubik.
Kriteria 2 Pada pasien tanpa kateter kandung kemih menetap dalam 7 hari sebelum dibiakan pertama dari biakan urin 2 kali berturut – turut ditemukan tidak lebih 2 jenis kumam yang sama dengan jumlah > 105 per cm3.
TANPA gejala / keluhan : demam, polakisuri, nikuri, disuri, nyeri suprapubik.

ISK LAIN
( Ginjal, ureter, kandung kemih, uretra, jaringan sekitar retroperitoneal atau rongga perinefrik ). Seorang pasien dikatakan menderita ISK lain bila ditemukan kriteria berikut:
Kriteria 1 Ditemukan kumam yang tumbuh dari biakan cairan bukan urin ( jaringan yang diambil dari lokasi yang dicurigai terinfeksi )
Kriteria 2 Adanya abses atau tanda infeksi lain yang dapat dilihat, baik secara pemeriksaan langsung, selama pembedahan, atau melalui pemeriksaan hispatologi.
Kriteria 3 Dua dari tanda berikut :
 Demam > 380 C
 Nyeri local, nyeri tekan pada daerah yang di curigai terinfeksi. Dan salah satu dari tanda / gejala berikut :
• Keluar pus atau aspirasi purulen dari tempat yang dicurigai terinfeksi
• Ditemukan kumam pada biakan darah. Pemeriksaan radiologis memperlihatkan gambaran terinfeksi
• Di diagnosis infeksi oleh dokter yang menangani
 Dokter yang menangani memberikan pengobatan antimikroba yang sesuai
Untuk bayi berumur < 12 bulan
Kriteria 4 Ditemukan salah satu tanda / gejala :
 Hipotermi < 370 C rektal
 Apnea
 Bradikardi < 100 / menit
 Letargi
 Muntah – muntah dan salah satu diantara keadaan berikut :
• Keluar pus dari lokasi yang terinfeksi
• Biakan darah positif
• Pemeriksaan radiologi memperlihatkan gambaran infeksi
• Di diagnosa infeksi oleh dokter yang menangani
• Dokter yang menangani memberikan pengobatan antimikroba yang sesuai

FAKTOR RESIKO INFEKSI SALURAN KEMIH
1. Kateterisasi menetap :
 Cara pemasangan kateter
 Lama pemasangan
 Kualitas perawatan kateter
2. Kerentanan pasien ( umur )
3. Debilitas
4. Pasca persalinan

PETUNJUK PENGEMBANGAN SURVEILANS INFEKSI SALURAN KEMIH
1. Faktor resiko harus di catat dengan lengkap pada pasien oleh dokter, perawat atau anggota tim kesehatan lain yang menangani pasien ( kategori I )
2. Pelaksanaan surveilans menghitung rate menurut faktor resiko spesifik ( pemasangan kateter ) minimal setiap enam bulan sekali dan melaporkannya pada Pokja pengendalian infeksi rumah sakit dan sekaligus menyebar luaskannya dalam bulletin rumah sakit ( kategori II )

PENCEGAHAN INFEKSI SALURAN KEMIH
Untuk mencegah terjadinya infeksi saluran kemih nosokomial perlu di perhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan pemasangan kateter urin.

TENAGA PELAKSANA
1. Pemasangan kateter hanya di kerjakan oleh tenaga yang betul – betul memahami dan trampil dalam teknik pemasangan kateter secara aseptic dan perawatan kateter ( kategori I )
2. Personil yang memberikan asuhan pada pasien dengan kateter harus mendapat latihan secara berkala khusus dalam teknik yang benar tentang prosedur pemasangan kateter kandung kemih dan pengetahuan tentang komplikasi potensial yang timbul ( kategori II )

PEMASANGAN KATETER
1. Pemasangan kateter dilakukan hanya bila perlu saja dan segera di lepas bila tidak diperlukan lagi. Alas an pemasangan kateter tidak boleh hanya untuk kemudahan personil dalam memberi asuhan pada pasien ( kategori I )
2. Cara drainase urin yang lain seperti : kateter kondom, kateter suprapubik, kateteriasi selang – seling ( intermitten )dapat digunakan sebagai ganti kateteriasi menetap bila memungkinkan ( kategori III )
3. Cuci tangan : sebelum dan sesudah manipulasi kateter harus cuci tangan ( kategori I )

TEKNIK PEMASANGAN KATETER
1. Gunakan yang terkecil tetapi aliran tetap lancar dan tidak menimbulkan kebocoran dari samping kateter ( kategori II )
2. Pemasangan secara aseptik dengan menggunakan peralatan steril ( kategori I )
3. Gunakan peralatan seperti sarung tangan, kain penutup duk, kain kasa dan antiseptic untuk desinfeksi hanya untuk satu kali pemasangan ( kategori I )
4. Kateter yang sudah terpasang harus di fiksasi secara baik untuk mencegah terikan pada uretra ( kategori I )

SISTEM ALIRAN TERTUTUP
1. Aliran harus memakai sistem tertutup ( kategori I )
2. Sambungan kateter dan pipa tidak boleh dilepas kecuali untuk kepentingan irigasi
3. Bila terjadi kesalahan pada teknik aseptic, sambungan terlepas atau bocor maka sistem penampungan harus diganti dengan teknik aseptik yang benar dan sebelumnya sambungan kateter harus di desinfeksi ( kategori III )

CARA IRIGASI KATETER
1. Irigasi hanya di kerjakan apabila ada sumbatan aliran misalnya karena bekuan darah pada operasi prostate atau kandung kemih. Untuk mencegah hal ini di gunakan irigasi continue secara tertutup. Untuk menghilangkan sumbatan akibat bekuan darah, dengan dan sebab lain dapat digunakan irigasi selang – seling. Irigasi dengan antibiotik sebagai tindakan rutin pencegahan infeksi tidak di anjurkan ( kategori II
2. Sambungan kateter harus di desinfeksi sebelum di lepas ( kategori II )
3. Gunakan semprit besar steril untuk irigasi dan setelah irigasi selesai semprit di buang secara aseptik ( kategori I )
4. Jika kateter sering tersumbat dan harus sering di irigasi ( jika kateter itu sendiri menimbulkan sumbatan ) maka kateter harus dig anti ( kategori II )

PENGAMBILAN BAHAN URIN
1. Bahan pemeriksaan urin segar dalam jumlah kecil dapat diambil dari bagian distal kateter, atau jika lebih baik dari tempat pengambilan bahan yang tersedia, dan sebelum urin di aspirasi dengan jarum semprit yang steril tempat pengambilan bahan harus di desinfeksi ( kategori I )
2. Bila di perlukan bahan dalam jumlah besar maka urin harus di ambil dari kantong penampung secara aseptik ( kategori I )

KELANCARAN ALIRAN URIN
1. Aliran urin harus lancar sampai kantong penampung. Penghentian aliran secara sementara hanya dengan maksud mengumpulkan bahan pemeriksaan untuk pemeriksaan yang di rencanakan ( kategori I )
2. Untuk menjaga kelancaran aliran perhatikan :
 Pipa jangan tertekuk ( kinking )
 Kantong penampung harus di kosongkan secara teratur ke wadah penampung urin yang terpisah bagi tiap – tiap pasien. Saluran urin dari kantong penampung tidak boleh menyentuh wadah penampung
 Kateter yang kurang lancar/ tersumbat harus di irigasi teknik no 5 bila perlu di ganti dengan yang baru
 Kantong penampung harus selalu terletak lebih rendah dari kandung kemih ( kategori I )

PERAWATAN MEATUS
Dianjurkan membersihkan dan perawatan meatus ( selama kateter di pasang ) dengan larutan povidone Iodine, walaupun tidak mencegah kejadian infeksi saluran kemih ( kategori II )

PENGGANTIAN KATETER
Kateter urin menetap tidak harus diganti menurut waktu tertentu / secara rutin ( kategori II )

RUANG PERAWATAN
Untuk mencegah terjadinya infeksi silang antara pasien yang memakai kateter menetap maka pasien yang terinfeksi harus di pisahkan dengan tidak terinfeksi ( kategori III )

PEMANTAUAN BAKTERIOLOGIK
Pemantauan bakteriologik secara rutin pada pasien yang memakai kateter tidak di anjurkan ( kategori III )




4. INFEKSI ALIRAN DARAH PRIMER ( IADP )
DEFINISI INFEKSI ALIRAN DARAH PRIMER
Infeksi aliran darah primer adalah infeksi darah yang timbul tanpa ada organ atau jaringan lain yang di curigai sebagai sumber infeksi.
Kriteria infeksi aliran darah primer dapat di tetapkan secara klinis dan laboratorik, dengan gejala / tanda sebagai berikut :

A. Klinis
Untuk dewasa dan anak > 12 bulan, di temukan salah satu diantara gejala berikut tanpa penyebab lain :
 Suhu > 380 C axilar, bertahan minimal 24 jam dengan atau tanpa pemberian antipiretika
 Hipotensi, sistolik < 90 mm Hg
 Oliguri, jumlah urin < 0,5 cc / kg BB / jam
Semua tanda / gejala yang disebut :
 Tidak ada tanda – tanda infeksi ditempat lain
 Telah diberikan antimikroba sesuai dengan sepsis

Penderita usia < 12 bulan dengan salah satu tanda di bawah ini :
 Panas > 380 C, hipotermi < 370 C, apnea atau bradikardi < 100 x / menit

Untuk neonatus dinyatakan menderita infeksi aliran darah primer apabila terdapat 3 atau lebih diantara 6 gejala berikut :
 Keadaan umum menurun, menurun antara lain : hipotermi ( 370 C ), hipertermi ( 380 C ) dan sklerema, malas minum.
 Sistem kardiovaskuler antara lain : tanda renjatan, yaitu takikardi, 160x / menit atau bradikardi 100x / menit dan sirkulasi perifer buruk.
 Sistem pencernaan antara lain : distensi lambung, mencret, muntah dan hepatomegali.
 Sistem pernafasan antara lain : nafas tidak teratur, sesak, apnea dan takipnea.
 Sistem saraf pusat antara lain : hipertomi otot, iritabel kejang dan letargi.
 Manifestasi hematology antara lain : pucat, kuning, splenomegali dan perdarahan.
Dan semua tanda / gejala di bawah ini :
• Biakan darah tidak dikerjakan atau dikerjakan tetapi tidak ada pertumbuhan kumam.
• Tidak terdapat tanda – tanda infeksi di tempat lain.
• Diberikan terapi anti mikroba sesuai dengan sepsis
 Telah memberikan antimikroba yang sesuai dengan infeksi.

Catatan :
Untuk neonatus digolongkan infeksi nosokomial apabila :
1. Pada partus normal di rumah sakit infeksi terjadi setelah lebih dari 3 hari.
2. Terjadi 3 hari setelah partus patologik, tanpa di dapatkan pintu masuk kumam.
3. apintu masuk kumam jelas misalnya luka infuse.

B. Laboratorik
 Kultur darah menunjukkan kuman kontaminasi kulit pada 2 x pemeriksaan yang berbeda waktu.
 Kultur darah menunjukkan kuman kontaminasi kulit pada 1x pemeriksaan pada penderita dengan infuse dan dokter memberikan terapi antibiotika.
 Antigen tes darah yang positif dan disertai gejala serta pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan infeksi di tempat lain.

FAKTOR RESIKO INFEKSI ALIRAN DARAH PRIMER
1. Pemasangan kateter intra vena ( IV) yang berkaitan dengan :
 Jenis kanula
 Metoda pemasangan
 Lama pemasangan kanula
2. Kerentanan pasien terhadap infeksi

PETUNJUK PENGEMBANGAN SURVEILANS INFEKSI ALIRAN DARAH PRIMER
1. Semua factor resiko harus dicatat dengan lengkap pada catatan pasien oleh dokter, perawat atau anggota tim kesehatan lain yang menangani pasien ( kategori I ).
2. Pelaksana surveilans menghitung rate menurut factor resiko spesifik ( kateter intravena ) minimal setiap 6 bulan sekali dan melaporkannya pada Pokja Pengendalian Infeksi RS dan juga menyebarluaskannya melalui bulletin rumah sakit ( kategori II ).

PENCEGAHAN INFEKSI ALIRAN DARAH PRIMER
Pencegahan IADP terutama ditujukan pada pemasangan dan perawatan I.V.
1. Indikasi pemasangan I.V. Pemasangan I.V hanya dilakukan untuk tindakan pengobatan dan atau untuk kepentingan diagnostic ( kategori I ).
2. Pemilihan kanula untuk infuse perifer.
 Kanula plastic boleh digunakan untuk I.V secara rutin pemasangan tidak boleh lebih dari 48 – 72 jam ( kategori II ).
 Kanula logam digunakan bila kanula plastic tidak mungkin diganti secara rutin setiap 48 – 72 jam namun, kasus kasus tertentu yang memerlukan fiksasi yang baik harus digunakan kanula plastic ( kategori II ).
3. Cuci Tangan :
 Cuci tangan harus dilakukan sebelum melakukan pemasangan kanula ( kategori I ).
 Pada umumnya cuci tangan cukup menggunakan sabun dan air mengalir tetapi untuk pemasangan kanula yang central dan untuk pemasangan melalui incise, cuci tangan harus menggunakan antiseptic ( kategori I ).
4. Pemilihan lokasi pemasangan I.V pada orang dewasa pemasangan kanula lebih baik pada tungkai atas daripada tungkai bawah, bila perlu pemasangan dilakukan didaerah subklavia atau jugular ( kategori I ).
5. Persiapan pemasangan I.V.
 Tempat yang akan ditusuk / dipasang kanula harus terlebih dahulu di desinfeksi dengan antisieptik ( kategori I ).
 Gunakan tinetur 1 – 2 % atau dapat juga menggunakan klorheksidine, Iodofor atau Alkohol 70%. Antiseptik harus secukupnya dan ditunggu sampai kering minimal 30 detik sebelum dilakukan pemasangan kanula ( kategori I ).
 Jangan menggunakan heksaklorofen atau campuran semacam benzalkonium dalam air untuk desinfeksi tempat tusukan ( kategori I ).
6. Prosedur setelah pemasangan I.V.
 Beri salep setelah pada tempat pemasangan terutama pada tehnik insisi ( kategori I ).
 Kanula di fiksasi sebaik – baiknya ( kategori I )
 Tutuplah dengan kassa steril ( kategori I ).
 Cantumkan tanggal pemasangan ditempat yang mudah dibaca ( misalnya pada plastic penutup pipa infuse ) serta pada catatan pasien yang bersangkutan tuliskan tanggal dan lokasi pemasangan ( kategori I ).
7. Perawatan tempat pemasangan I.V.
 Tempat tusukan diperiksa setiap hari untuk melihat kemungkinan timbulnya komplikasi tanpa membuka kasa penutup yaitu dengan cara meraba daerah vena tersebut. Bila ada demam yang tidak bisa dijelaskan dan ada nyeri tekan pada tempat tusukan, barulah kasa penutup dibuka untuk melihat kemungkinan komplikasi ( kategori I ).
 Bila kanula harus dipertahankan untuk waktu lama maka setiap 48 – 72 jam kasa penutup harus diganti
 Bila pada waktu pemasangan kanula tempat pemasangan diberi antiseptik maka setiap penggantian kasa penutup, tempat pemasangan diberi antiseptik kembali ( kategori II ).
8. Penggantian kanula
 Jika pengobatan I.V. melalui infuse perifer ( baik menggunakan heparin atau yang dipasang melalui insisi ) bila tidak ada komplikasi yang mengharuskan mencabut kanula harus diganti setiap 48 – 72 jam secara asepsis ( kategori I ).
 Jika penggantian tidak mengikuti tehnik aseptic yang baik maka harus diganti secepatnya ( kategori I ).
9. Kanula Sentral
 Kanula sentral harus dipasang dengan tehnik aseptic ( kategori I ).
 Kanula sentral harus segera dilepas bila tidak diperlukan lagi atau diduga menyebabkan sepsis ( kategori I ).
 Kanula sentral dipasang melalui vena jugular dan sub klavia kecuali digunakan untuk pemantauan tekanan vena sentral. Tidak harus diganti secara rutin ( kategori I ).
 Kanula sentral dipasang melalui vena perifer harus diperlakukan seperti kanula perifer tersebut diatas ( kategori I ).
 Bila kanula dipertahankan lebih lama, kasa penutup diperiksa dan diganti setiap 48 – 72 jam ( kategori II ).
10. Pemeliharaan Peralatan
 Pipa I.V termasuk kanula piggy back harus diganti setiap 48 jam ( kategori I ).
 Pipa yang digunakan untuk hiperalimentasi harus diganti setiap 24 – 48 jam ( kategori II ).
 Pipa yang harus diganti sesudah memanipulasi pemberian darah, produk – produk darah atau emulsi lemak ( kategori III ).
 Pada setiap penggantian komponen system I.V. harus dipertahankan tetap tertutup. Setiap kali hendak memasukkan obat melalui pipa harus dilakukan desinfeksi sesaat sebelum memasukkan obat tersebut ( kategori I ).
 Hindarkan pembilasan dan irigasi untuk melancarkan aliran ( kategori I ).
 Pengambilan bahan pemeriksaan darah melalui pipa I.V.tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan darurat atau pipa akan segera di lepas ( kategori II )

11. Penggantian komponen sistem intravena dalam keadaan infeksi atau flebitis. Jika dari tempat tusukan keluar pus atau terjadi selulitis atau flebitis tanpa gejala – gejala infeksi pada tempat I.V.atau di duga bakterimia yang berasal dari kanula, maka semua sistem harus di cabut ( kategori I )
12. Pemeriksaan untuk infeksi yang dicurigai karena intravena
 Bila di curigai terjadi infeksi karena pemasangan I.V.seperti tromboplebitis purulen, bakterimia, maka di lakukan pemeriksaan biakan ujung kanula
Cara pengambilan bahan sebagai berikut :
• Kulit tempat tusukan harus di bersihkan dan di desinfeksi dengan alkohol, biarkan sampai kering
• Kanula di lepas, ujung kanula di potong kurang dari 1 cm secara aseptik untuk di biakkan dengan teknik semi kuantitatif ( kategori II )
• Jika sistem I.V.di hentikan oleh karena kecurigaan kontaminasi cairan, maka cairan harus di biakkan dan sisa botol diamankan ( kategori I )
• Jika sistem I.V.dihentikan oleh karena kecurigaan bakterimia akibat I.V.cairan harus di biakkan ( kategori II )
• Jika terbukti bahwa cairan terkontaminasi maka sisa botol dan isinya dengan nomor lot yang sama dengan yang terkontaminasi harus di amankan dan nomor lot harus harus di catat ( kategori I )
• Jika kontaminasi di curigai berasal dari pabrik ( intrinsic contamination ) maka secepatnya harus di laporkan kepada Dinas Kesehatan atau Kanwil Depkes setempat untuk di teruskan ke Ditjen PPM dan PLP dan Ditjen POM ( kategori I )
13. Kendali mutu selama dan sesudah pencampuran cairan parental :
 Cairan parentral dan hiperalimentasi harus di campur di bagian farmasi, kecuali karena kepentingan klinis, pencampuran di lakukan di ruangan pasien ( kategori II )
 Tenaga pelaksana harus mencuci tangan sebelum mencampur cairan parenteral ( kategori I )
 Sebelum mencampur dan menggunakan cairan parentral semua wadah harus di periksa untuk melihat adanya keruhan, kebocoran, keretakan dan partikel tertentu dan tanggal kedaluwarsa. Bila di dapatkan keadaan tersebut cairan tidak boleh di gunakan dan harus di kembalikan ke bagian farmasi dan dari bagian farmasi tidak boleh di keluarkan ( kategori I )
 Ruangan di bagian farmasi tempat mencampur cairan parentral tersebut harus memiliki pengatur udara laminar ( laminar – flow – hood ) ( kategori II )
 Sebaiknya di pakai wadah yang berisi cairan dengan dosis tunggal ( sekali pakai ) Bila di pakai bahan parentral dengan dosis ganda ( untuk beberapa kali pakai ) dan sisanya untuk wadah harus diberi tanda tanggal dan jam dikerjakan
 Label wadah harus diperiksa untuk mengetahui apakah perlu dimasukkan ke dalam es atau tidak


Keterangan tentang kategori :

Kategori I :
Keharusan mutlak ( Strongly Recommended for Adoption )
Ditunjang kuat oleh penelitian klinis yang terencana / terkontrol baik atau dipandang berguna oleh pakar, dapat dipakai dan praktis untuk semua rumah sakit.

Kategori II :
Sangat dianjurkan ( Moderatly Recommended for Adoption )
Ditunjang oleh penelitian secara klinis dipandang sangat mungkin dan secara teoritis adalah rasional. Praktis tapi tak dapat dilaksanakan oleh semua rumah sakit.

Kategori III :
Dianjurkan ( Weakly Recommended for Adoption )
Dianjurkan oleh pejabat yang berwenang tapi tidak ditunjang oleh data yang kuat / teori. Dilaksanakan oleh beberapa rumah sakit.






















SURAT - KEPUTUSAN
No:269/SK/UM.11/V/2001

Tentang :
PEMBERLAKUAN BUKU PEDOMAN
PENGENDALIAN INFEKSI NOSOKOMIAL

DIREKTUR RS. ISLAM KLATEN

MENIMBANG :
a. Bahwa salah satu kegiatan dalam rangka peningkatan mutu pelayanan di Rumah Sakit adalah Pengendalian Infeksi Nosokomial.
b. Bahwa agar lebih terarah dan teratur kegiatan Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit perlu adanya buku Pedoman Pengendalian Infeksi Nosokomial.
c. Bahwa untuk maksud tersebut butir 1 & 2 perlu ditetapkan Surat Keputusan Direktur RS. Islam Klaten tentang Pemberlakuan Buku Pedoman Pengendalian Infeksi Nosokomial.

MENGINGAT :
a. Undang – undang Kesehatan tahun 1992 tentang Pokok Kesehatan.
b. SK nomor 033/SK/YJH/V/2001, tentang penyempurnaan Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja RS. Islam Klaten.
c. SK Direktur RS. Islam Klaten No. 197/SK/YM.60.5/VIII/2000, tentang Reorganisasi Pokja Pengendalian Infeksi Nosokomial.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :
Pertama : Memberlakukan Buku Pedoman Pengendalian Infeksi Nosokomial di lingkungan Rumah Sakit Islam Klaten
Kedua : Buku Pedoman Pengendalian Infeksi Nosokomial berlaku untuk 3 ( yiga ) tahun dan akan ditinjau ulang
Ketiga : Keputusan ini berlaku sejak ditetapkan dengan ketentuan apabila ada kekeliruan akan di adakan perubahan sebagaimana mestinya

Ditetapkan di : KLATEN
Pada tanggal : 30 Mei 2001
Direktur




DR. dr. HM. Syamsulhady, SpKj
Tembusan
Komite Medik
Semua Instalasi/ Bagian/ Bidang