Rabu, 28 Oktober 2009

PEDOMAN PENGENDALIAN INFEKSI NOSOKOMIAL











RS. ISLAM
K L A T E N









PANITIA PENGENDALIAN INFEKSI NOSOKOMIAL
RS. ISLAM KLATEN
2007

DAFTAR ISI




Daftar Isi

BAB I Batas – Batasan
Batasan Umum

BAB II Batasan Khusus
ILO ( Infeksi Luka Operasi )
PNEUMONIA
Infeksi Saluran Kelamin ISK
Infeksi Aliran Darah Primer ( IADP )

Surat Keputusan


BAB I
BATASAN – BATASAN



1.1. BATASAN UMUM

INFEKSI NOSOKOMIAL (Hospital Acquaried Infection / Nosokomial Infection)
Adalah infeksi yang di dapat penderita ketika penderita tersebut di rawat di rumah sakit.

Suatu infeksi dikatakan didapat di rumah sakit apabila :
1. Pada waktu penderita mulai dirawat di Rumah Sakit tidak di dapatkan tanda – tanda klinik dari infeksi tersebut.
2. Pada waktu penderita mulai di rawat di Rumah Sakit tidak sedang dalammasa inkubasi dari infeksi tersebut.
3. Tanda – tanda klinik infeksi tersebut baru timbul sekurang kurangnya setelah 3 x 24 jam sejak mulai perawatan.
4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa ( residual) dari infeksi sebelumnya.
5. Bila saat mulai di rawat di rumah sakit sudah ada tanda – tanda infeksi, dan terbukti infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat di Rumah Sakit yang sama pada waktu yang lalu serta belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial.


CATATAN :

A. Bila tanda – tanda infeksi sudah timbul pada masa kurang dari 3 x 24 jam sejak mulai perawatan tergantung masa inkubasi dari masing – masing jenis infeksi.
B. Untuk penderita yang setelah keluar Rumah Sakit kemudian timbul tanda – tanda infeksi, baru dapat digolongkan sebagai Infeksi Nosokomial apabila infeksi tersebut dapat dibuktikan berasal dari Rumah sakit.
C. Tidak termasuk infeksi nosokomial ialah : keracunan makanan yang tidak disebabkan oleh produk bakteri.


BAB II



1.2. BATASAN KHUSUS

1. ILO ( Infeksi Luka Operasi )
Untuk membahas infeksi luka operasi nosokomial perlu diketahui klasifikasi luka operasi sebagai berikut :

1.1. DEFINISI DAN KLASIFIKASI LUKA OPERASI

LUKA OPERASI BERSIH
1. Operasi dilakukan pada daerah / kulit yang pada kondisi pra bedah tanpa peradangan dan tidak membuka traktus respiratorius, traktus gastro intestinal, orofaring,, traktus urinarius atau traktus bilier.
2. Operasi berencana dengan penutupan kulit primer dengan atau tanpa pemakaian drain tertutup.

LUKA OPERASI BERSIH TERKONTAMINASI
1. Operasi membuka traktus digestive, traktus bilier, traktus urinarius, traktus espiratorius sampai dengan orofaring, traktus reproduksi kecuali ovarium.
2. Operasi tanpa pencemaran nyata ( Gross spilage ) contoh : operasi traktus bilier, apendiks, vagina atau orofaring.

LUKA OPERASI KOTOR / DENGAN INFEKSI
1. Pada perforasi traktus digestive, traktus urogenitalis atau traktus respiratorius yang terinfeksi.
2. Melewati daerah purulen ( inflamasi bacterial ).
3. Pada luka terbuka lebih dari 6 jam setelah kejadian atau terdapat jaringan non vital yang luas atau yang nyata kotor.
4. Dokter yang melakukan operasi menyatakan sebagai luka operasi / terinfeksi.

1.2. DEFINISI INFEKSI LUKA OPERASI
Infeksi luka operasi dibedakan menjadi :
Disebut Infeksi Luka Operasi ( ILO) Superfisial apabila didapat :
Infeksi terjadi dalam 30 hari pasca bedah dan terjadinya pada kulit dan subkutan disertai salah satu tersebut dibawah ini :
• Keluar nanah dari luka operasi.
• Terisolasi kuman pada ultur yang diambil dari cairan atau jaringan.
• Salah satu dari tanda dibbawah ini nyeri, pembengkakan, merah, lebih panas dan ahli bedah sengaja membuka luka kecuali apabila kultur tidak menunjukkan adanya pertumbuhan kuman.
• Rekomendasi dokter.

Disebut ILO DALAM ( PROFUNDA ) apabila didapat :
Infeksi terjadi 30 hari pasca bedah bila tanpa “ IMPLANT “ atau “ 1 “ ( satu ) tahun pasca bedah bila ada “ IMPLANT “ dan infeksi ini meliputi jaringan lebih dalam dari fisia. Disertai salah satu tersebut dibawah ini :
a. Keluar nanah dari luka operasi.
b. Terjadi dehisensi luka secara spontan atau luka sengaja dibuka oleh dokter apabila disertai dengan salah satu dari gejala panas ( 380C ) atau nyeri local kecuali bila kultur tidak menunjukkan adanya kuman.
c. Adanya abses atau dibuktikan adanya abses dbawah fascia pada operasi ulang atau pemeriksaan PA atau radiology menunjukkan gambaran infeksi.
d. Rekomendasi dokter.

Disebut ILO bersih terkontaminasi apabila infeksi terjadi pada operasi bersih terkontaminasi dan memenuhi criteria ILO dalam.

Operasi terkontaminasi atau operasi kotor dinyatakan infeksi nosokomial apabila dapat dibuktikan bahwa penyebab infeksi adalah kuman yang berasal dari Rumah Sakit atau ditemukan kuman strain lain dari kuman yang ditemukan sebelum masuk Rumah Sakit.

Catatan :
• Didalam penggunaan antibiotic yang irasonal jika ditemukan tanda peradangan maka dimasukkan kedalam kemungkinan infeksi.
• Abses jahitan yang sembuh 3 hari setelah jahitan diangkat bukan infeksi operasi.

1.3. FAKTOR RESIKO INFEKSI LUKA OPERASI
1. Tingkat kontaminasi luka.
2. Faktor pejamu :
• Usia estrim ( sangat muda / tua )
• Obesitas
• Adanya infeksi perioperatif
• Pengguna kortikosteroid
• Diabetes Mellitus
• Malnutrisi Berat
3. Faktor lokasi luka :
• Pencukuran daerah operasi ( cara dan waktu pencukuran ).
• Devitalisasi jaringan.
• Benda asing.
• Suplai darah yang buruk ke daerah operasi.
• Lokasi luka yang mudah tercemar ( dekat perineum )
4. Lama perawatan sebelum operasi.
5. Lama operasi.

PETUNJUK PENGEMBANGAN SURVEILANS INFEKSI LUKA OPERASI
1. Semua factor resiko harus dicatat dengan lengkap pada catatan pasien oleh dokter, perawat atau tim kesehatan lain yang menangani pasien ( kategori I ).
2. Klasifikasi operasi harus dicatat pada laporan operasi atau pada catatan pasien oleh ahli bedah segera setelah pasien di operasi ( kategori II ).
Petunjuk surveilans yang dimaksud adalah variable spesifik untuk masing – masing lokasi infeksi. Variabel lain seperti : umur, jenis kelamin, unit / bagian dll, sama untuk semua lokasi infeksi.
3. Pelaksanaan surveilans harus menghitung rate menurut klasifikasi luka operasi spesifik minimal setiap 6 bulan sekali, melaporkannya pada Pokja Pengendalian Infeksi Rumah Sakit ( kategori I ).
4. Pelaksana surveilans menghitung rate menurut prosedur spesifik setiap 6 bulan sekali dan melaporkannya pada Pokja pengendalian Infeksi serta para ahli bedah ( kategori II )>

1.5. PENCEGAHAN INFEKSI LUKA OPERASI
Tindakan pencegahan dikelompokkan dalam :
KALA SEBELUM MASUK RUMAH SAKIT
1. Semua pemeriksaan dan pengobatan untuk persiapan operasi sebisanya dilakukan sebelum rawat inap agar waktu pra bedah menjadi pendek ( kurang 1 hari ) ( kategori II ).
2. Perbaikan keadaan yang memperbesar kemungkinan terjadinya ILO antara lain :
• Diabetes Melitus
• Obesitas
• Pemakaian kortikosteroid
• Malnutrisi
• Infeksi

KALA PRA OPERASI
1. Perawatan pra operasi I hari untuk operasi berencana. Aapbila keadaan yang memperbesar terjadinya ILO tidak dapat dilakukan di luar Rumah Sakit misalnya malnutrisi berat yang memerlukan oral atau parenteral hiperalimentasi, maka pasien dapat dirawat lebih awal ( kategori I )
2. Pasien dari ruangan ganti baju khusus untuk operasi di ruang ganti baju IBS ( Instalasi Bedah Sentral ).
3. mandi dengan antiseptic dilakukan sebelum operasi ( kategori III )
4. Pencukuran rambut daerah operasi dilakukan hanya bilamana perlu misalnya daerah operasi dengan rambut yang lebat.

Cara pencukuran rambut adalah :
• Bila menggunakan pisau cukur biasa maksimal dilakukan 6 jam sebelum operasi.
• Bila menggunakan pisau cukur listrik dapat dilakukan lebih lama sebelum operasi dari pada pisau cukur biasa.
• Setelah dicukur diolesi antiseptic ( kategori III ).
5. Daerah operasi harus dicuci dengan pemakaian antiseptic kulit dengan tehnik dari sentral kearah luar. Antiseptik kulit yang dipakai dianjurkan klorheksidin, larutan yodium atau lodofor ( kategori I ).
6. Dikamar operasi pasien ditutup dengan doek steril sehingga hanya daerah operasi yang terbuka ( kategori I ).
7. Antibiotika profilaksis diberikan secara :
a. Sistemik harus memenuhi syarat
• Tepat dosis
• Tepat indikasi ( hanya untuk operasi bersih terkontaminasi, pemakaian implant dan protesis atau operasi dengan resiko tinggi seperti bedah vaskuler atau bedah jantung ).
• Tepat cara pemberian ( harus diberikan secara IV 2 jam sebelum incise dilakukan dan dilanjutkan tidak boleh lebih dari 48 jam ).
• Tepat jenis ( sesuai dengan mikroorganisme yang sering menjadi penyebab ILO ) ( kategori I )
b. Oral hanya digunakan untuk operasi kolorektal dan diberikan tidak lebih dari 24 jam.

Catatan :
Antimikroba yang diberikan pada luka operasi kotor dimasukkan dalam kelompok terapeutik.

PERSIAPAN TIM PEMBEDAHAN
1. Setiap orang yang masuk kamar operasi harus :
• Memakai masker yang efisien, menutupi hidung dan mulut.
• Memakai tutup kepala yang menutupi semua rambut.
• Memakai sandal khusus kamar operasi atau memakai pembungkus sepatu ( kategori I ).
3. Anggota tim bedah sebelum setiap operasi harus mencuci tangan.
4. Antiseptik yang dianjurkan untuk cuci tangan khlorheksidin, lodofor atau heksaklorofen ( kategori II ).
5. Setelah cuci tangan, keringkan dengan handuk steril ( kategori II )
6. Setiap anggota tim harus memakai jubah steril ( kategori I )
7. Setiap anggota tim harus memakai sarung tangan steril apabila sarung tersebut kotor, harus diganti yang baru. Pemakaian sarung tangan memakai metode tertutup ( kategori I ).
8. untuk operasi tulang atau pemasangan implant memakai 2 lapis sarung tangan steril ( kategori II ).

INTRA OPERASI
1. Tehnik operasi : harus dilakukan dengan sempurna untuk menghindari kerusakan jaringan lunak yang berlebihan, menghilangkan rongga, mengurangi perdarahan dan menghindarkan tertinggalnya benda asing yang tidak diperlukan ( kategori I ).
2. lama operasi : operasi dilakukan secepat – cepatnya dalam batas yang aman ( kategori I )
3. pemakai drain : pemakaian drain harus dengan system tertutup, baik dengan cara penghisapan atau dengan cara memakai gaya tarik bumi ( gravitasi ) dan drain harus melalui luka tusukan di luar luka operasi ( kategori I ).

PERAWATAN PASCA OPERASI
1. Untuk luka kotor atau infeksi, kulit tidak ditutup primer ( kategori I ).
2. petugas harus mencuci tangan dengan standar cuci tangan yang baku sebelum dan sesudah merawat luka. Petugas tidak boleh menyentuh luka secara langsung dengan tangan kecuali setelah memakai sarung tangan steril ( kategori I )
3. Kasa penutup luka diganti apabila basah dan atau menunjukkan tanda – tanda infeksi.
4. Jika cairan keluar dari luka, lakukan pewarnaan gram dan biakan ( kategori I )

PENGENDALIAN LINGKUNGAN
1. Semua pintu kamar operasi harus tertutup dan jumlah personil yang keluar masuk kamar operasi harus dibatasi ( kategori I ).
2. Alat – alat operasi setelah dibersihkan dari jaringan, darah atau sekresi harus disterilkan dengan autoklaf.
3. Kamar operasi harus dibersihkan :
• Antara 2 operasi.
• Tiap hari walaupun kamar operasi tidak dipakai.
• Tiap minggu ( 1 hari untuk pembersihan menyeluruh ) ( kategori I )
4. Pemakaian keset dengan antiseptic pada pintu masuk kamar operasi tidak dianjurkan ( kategori I )
5. Biakan udara dan biakan yang diambil dari personil kamar operasi secara rutin, tidak diperlukan ( kategori I )
6. Operasi bersih dilakukan sebelum operasi kotr, jika akan dipakai untuk operasi berikutnya harus dibersihkan secara sempurna ( kategori I ).
7. Barang – barang terkontaminasi seperti pus, harus dikumpulkan terpisah dan di beri tanda kontaminasi ( kategori I ).
8. untuk operasi pasien infeksi misalnya hepatitis, usahakan memakai alat sekali pakai dikumpulkan secara khusus dan diberi tanda infeksi ( kategori I ).

2. PNUEMONIA
2.1. DEFINISI PNEUMONIA
Pneumonia suatu infeksi saluran pernafasan bagian bawah ( ISPB )
Seorang pasien dikatakan menderita pneumonia bila ditemukan satu diantara kriteria berikut ini :
Untuk dewasa dan anak > 12 bulan.
Kriteria I : Pada pemeriksaan fisik terdapat ronki basah atau pekak ( dullness ) pada perkusi, febris > 380C dan salah satu keadaan berikut :
• Baru timbulnya sputum purulen atau terjadinya perubahan sifat sputum.
• Isolasi kuman positif biakan darah.
• Isolasi kuman pathogen positif dari aspirasi trakea, sikatann / cuci bronkus atau biopsi.

Kriteria II : Foto thorax menunjukkan adanya infiltrate, konsolidasi, kavitasi, efusi pleura baru atau progesif dan salah satu diantara keadaan berikut :
• Baru timbulnya sputum purulen atau terjadinya perubahan sifat sputum.
• Isolasi kuman positif dan biakan darah.
• Isolasi kuman pathogen positif dari aspirasi trakea, sikatan / cuci bronkus atau biopsi.
• Virus dapat diisolasi atau terdapat antigen virus dalam sekresi saluran nafas.
• Titer IgM atau IgG spesifik meningkat 4x lipat dalam 2 kali pemeriksaan.
• Terdapat tanda – tanda pneumonia pada pemeriksaan hispatologi.

Kriteria III : Penderita berusia < 12 bulan dengan 2 ( dua ) tanda dari tanda – tanda dibawah ini :
• Apnea.
• Bradikardi
• Whezing
• Brachipnea
• Ronki atau batuk disertai salah satu dari keadaan.

Kriteria IV: Pada anak berusia < 12 bulan yang pada foto toraknya menunjukkan infiltrasi cara yang progesif, cavitas, konsolidasi atau adanya “ pleural effusion “ disertai sesuai dengan salah satu keadaan seperti criteria 3.



2.2. FAKTOR RESIKO PNEUMONIA

1. Instrumentasi system saluran pernafasan misalnya pada pemasangan pipa endotrakea, ventilasi mekanis dan trakeostomi.
2. Tindakan operasi terutama operasi thorax dan abdomen.
3. Kondisi yang mudah menyebabkan aspirasi misalnya pada pemasangan pipa lambung ( Nasogastrik tube ), penurunan kesadaran dan disfagia.
4. Usia tua.
5. obesitas
6. Penyakit obstruksi paru menahun
7. Tes fungsi paru abnormal (terutama dengan penurunan kecepatan ekspirasi).
8. Intubasi dalam waktu lama.
9. Gangguan fungsi imunologi.

2.3. PETUNJUK PENGEMBANGAN SURVEILANS PENUMONIA
1. Semua faktor resiko harus dicatat dengan lengkap pada catatan pasien oleh dokter, perawat atau anggota tim kesehatan lainyang menangani pasien ( kategori I ).
2. Pelaksana surveilans harus menghitung rate menurut faktor resiko spesifik minimal jenis operasi thorax dan abdomen dan ventilator serta melaporkannya kepada Pokja Pengendalian Infeksi rumah sakit minimal 6 bulan sekali.

2.4. PENCEGAHAN PNEUMONIA
Pencegahan pneumonia nosokomial dilakukan dengan cara berikut :
Pencegahan pneumonia pasca bedah :
1. Pencegahan pra dan pasca bedah ditujukan pada :
• Pasien yang akan mendapat pembiusan dan menjalani pembedahan thorax dan abdomen.
• Disfungsi paru berat.
• Kelainan paru.
Pengelolaan pra dan pasca bedah meliputi pengobatan dan instruksi medis dan keperawatan.
2. Pengolahan pra bedah meliputi :
• Pengobatan atau resolusi infeksi paru.
• Mempermudah pengeluaran sekret saluran nafas ( bronkodilator, drainase postural, perkusi ).
• Berhenti merokok ( kategori I ).
3. Instruksi pra bedah meliputi :
• Diskusi dengan pasien mengenai pentingnya sering batuk, nafas dalam dan mobilisasi pasca bedah.
• Pasien memperagakan cara batuk dan nafas dalam pra dan pasca bedah ( kategori III ).
4. Pengobatan dan instruksi pasca bedah ditujukan untuk mendorong pasien sering batuk, nafas dalam dan ambulasi jika tidak ada kontra indikasi secara medis ( kategori I ).
5. Bila secara konservatif diatas gagal untuk mengeluarkan sekret saluran nafas dapat dikerjakan drainase postural dan perkuasi ( kategori II )
6. Nyeri akibat batuk dan nafas dalam dapat diatasi dengan analgetik dan menopang luka di daerah perut ( misalnya dengan meletakkan bantal kecil dan ringan diatas perut ) serta memberi obat penghambat syaraf local ( kategori I ).
7. Antibiotika sistemik tidak dianjurkan untuk dipakai secara rutin( kategori I ).

CUCI TANGAN
Cuci tangan dilakukan setiap kali kontak dengan sekret saluran nafas baik dengan atau tanpa sarung tangan. Cuci tangan juga dilakukan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien yang mendapat intubasi dan trakeostomi ( kategori I ).

CAIRAN DAN OBAT
1. Nebulisasi dan humudifikasi hanya boleh menggunakan cairan steril yang diberikan secara aseptic. Cairan tersebut tidak boleh igunakan pada alat yang terkontaminasi ( kategori I ). Sisa cairan dalam botol yang sudah dibuka harus dibuang dalam waktu 24 jam ( kategori II ).
2. Bila flakon multidose digunakan untuk terapi harus disimpan dalam lemari es atau suhu kamar sesuai aturan pakai dan tidak melewati tanggal kadaluwarsa ( kategori II ).

PEMELIHARAAN ALAT TERAPI PERNAFASAN YANG SEDANG DIPAKAI
• Penampungan cairan harus diisi segera sebelum dipakai bila cairan hendak ditambahkan maka sisa cairan harus dibuang terlebih dahulu ( kategori II ).
• Air yang telah mengembun dalam pipa harus dibuang dan tidak boleh dialirkan balik kedalam penampung ( kategori I )
• Alat nebulisasi dinding dan penampungannya harus segera diganti secara rutin setiap 24 jam dengan yang steril atau sudah di desinfeksi ( kategori I )
• Alat nebulisasi lain dan penampungannya harus diganti dengan yang steril atau di desinfeksi setiap 24 jam ( kategori I )
• Alat pelembab udara ruangan yang dapat menimbulkan tetesan tidak boleh digunakan ( kategori I )
• Alat penampung pelembab udara oksigen dinding yang dapat di pakai ulang harus di bersihkan, di cuci dan di keringkan setiap hari ( kategori II )
• Setiap pipa dan masker yang di gunakan untuk terapi oksigen harus diganti pada setiap pasien ( kategori I )
• Sirkuit alat bantu nafas termasuk pipa dan katub ekshalasi harus secara rutin diganti dengan yang steril atau sudah di desinfeksi setiap 24 jam ( kategori II )
• Bila mesin respirator digunakan untuk beberapa pasien maka pada setiap pergantian pasien semua sirkuit alat bantu nafas harus diganti dengan yang steril atau yang sudah di desinfeksi ( kategori II )

PERALATAN SEKALI PAKAI
Alat terapi pernapasan yang dirancang untuk sekali pakai tidak boleh dipakai ulang ( kategori I )
Penanganan peralatan yang dipakai ulang.
1. Setiap peralatan yang akan disterilkan atau di desinfeksi harus dibersihkan dengan seksama untuk mrnghilangkan darah, jaringan, makanan, atau residu lainnya. Peralatan harus di dekontaminasi sebelum atau selama proses pembersihan, bila alat tersebut berasal dari pasien dengan jenis isolasi tertentu, ditandai : terkontaminasi ( kategori I )
2. Alat terapi pernafasan yang menyentuh selaput lendir harus di sterilkan sebelum dipakai pada pasien lain. Jika hal ini tidak memungkinkan alat tersebut harus di desinfeksi kuat ( high level disinfection ) ( kategori I )
3. Sirkuit alat bantu nafas ( termasuk pipa dan katub ekshalasi ) dan semua alat yang berhubungan dengan terapi pernafasan harus di sterilkan atau di desinfeksi kuat ( kategori I )
4. Ruang pendingin pada alat nebulisasi ultrasonik sulit di desinfeksi secara kuat karena itu harus di sterilkan dengan gas ( etilin oksida ) atau di desinfeksi kuat sedikit selama 30 menit ( kategori I )
5. Bagian dalam mesin ventilator dan mesin pernafasantidak perlu di sterilkan atau di desinfeksi secara rutin untuk setiap pemakaian kecuali setelah alat tersebut potensial terkontaminasi dengan mikro organisme berbahaya ( ketegori I )
6. Respirometer dan alat lain yang digunakan untuk memantau pasien secara bergantian, tidak boleh langsung menyentuh bagian sirkuit alat bantu nafas, kedua alat tersebut perlu perlu penghubung dan alat penghubung ini harus diganti pada setiap pemakaian pada pasien lain. Jika tidak menggunakan penghubung dan alat pemantau langsung berhubungan dengan alat yang terkontaminasi, maka alat pemantau tersebut harus di sterilkan atau di desinfeksi kuat sebelum dipakai pasien lain ( kategori II )
7. Kantong alat resusitasi manual harus di sterilkan atau di desinfeksi kuat setiap habis dipakai ( kategori I )

PEMANTAUAN MIKROORGANISME
1. Jika tidak ada kejadian luar biasa ( KLB ) atau rate endemic infeksi paru nosokornial tidak tinggi maka proses desinfeksi alat terapa pernafasan tidak perlu dipantau dengan biakan sampel dari alat tersebut. Dengan kata lain sampel rutin tidak perlu dilakukan ( kategori I )
2. Interpretasi hasil pemeriksaan mikro biologik sulit dilakukan karena itu sampel mikro biologik rutin alat bantu nafas yang sedang dipakai pasien dianjurkan ( kategori I )

PASIEN DENGAN TRAKEOSTOMI
1. Tindakan trakeostomi harus dilakukan dikamar operasi, secara aseptik kecuali dalam keadaan darurat dapat dilakukan di ruang perawatan ( kategori I )
2. Kecuali luka trakeostomi sudah mulai sembuh atau membentuk jaringan granulasi sekitar pipa maka tidak boleh di sentuh dengan tangan langsung, atau setiap manipulasi kedua tangan menggunakan sarung tangan steril ( kategori II )
3. Bila diperlukan penggantian pipa trakeostomi, maka pipa pengganti harus steril atau di desinfeksi ( kategori I ). Sewaktu mengganti pipa harus digunakan tehnik aseptik termasuk penggunaan sarung tangan dan penutup ( duk ) steril ( kategori II )

PENGISAPAN SEKRET SALURAN NAFAS
1. Pengisapan sekret saluran pernafasan dilakukan hanya bila di perlukan, karena pengisapan yang terus menerus akan meningkatkan resiko kontaminasi silang dan trauma ( kategori I )
2. Pengisapan sekret saluran nafas tidak boleh dilakukan dengan tangan langsung melainkan menggunakan sarung tangan ( kategori II )
3. Setiap kali mengisap sekret saluran nafas, digunakan kateter yang steril atau kalau pemaikaiannya hanya dalam waktu singkat maka kateter dapat dipkai ulang setelah dibilas serta dibersihkan ( kategori I ).
4. Bila terdapat sekret yang kental dan kateter penghisap memerlukan bilasan, maka untuk membilas gunakan cairan steril ( kategori I )

PENGGUNAAN PIPA DAN TABUNG ASAP ADALAH SEBAGAI BERIKUT :
 Pemakaian pipa pengisap sampai batas tabung harus diganti untuk setiap pasien ( kategori I )
 Tabung pengisap yang digunakan untuk satu pasien tidak perlu diganti atau dikosongkan secara rutin ( kategori III )
 Tabung pengisap harus diganti setiap pasien kecuali pada unit perawatan jangka pendek ( tidak lebih dari 24 jam ) ( kategori II )
 Pada unit perawatan jangka pendek tabung perlu diganti setiap hari tetapi tidak perlu diganti untuk setiap pasien ( kategori II )
 Setiap kali tabung pengisap diganti harus di sterilkan atau di desinfeksi kuat ( kategori II )

PERLINDUNGAN PASIEN DARI PASIEN LAIN DAN PERSONIL
1. Lakukan isolasi pada pasien yang mungkin menyebarkan infeksi saluran nafas. Isolasi sesuai dengan teknik mutakhir
2. Personil yang terkena infeksi saluran nafas tidak boleh memberi asuhan langsung pada pasien dengan resiko tinggi ( misal : neonatal, bayi, pasien dengan obstruksi paru kronis, dan pasien dengan daya tahan tubuh menurun ) ( kategori III )
3. Bila diperkirakan ada KLB influenza lakukan pencegahan untuk semua pasien dan tugas yang memberi asuhan langsung, dengan menggunakan teknis isolasi pernafasan



3. INFEKSI SALURAN KEMIH ( ISK )
DEFINISI INFEKSI SALURAN KEMIH
Definisi ini meliputi :
1. Infeksi saluran kemih simptomatik
2. Bakteriuria asimptomatik
3. Infeksi saluran kemih lainnya

ISK SIMPTOMATIK
Seorang pasien dikatakan menderita ISK bila ditemukan satu di antara 3 kriteria berilkut :
( Untuk orang dewasa dan anak > 12 bulan )
Kriteria 1. Didapatkan salah satu dari gejala / keluhan ini :
 Demam > 380 C, axilar
 Disuri
 Polakisuri
 Nikuri ( anyang – anyangan )
 Nyeri supra pubik dan hasil biakan urin porsi tengah ( midstream ) lebih dari 105 kumam perml urin dengan jenis kumam tidak lebih dari 2 species
Kriteria 2 Ditemukan dua diantara gejala / keluhan berikut ::
 Demam > 380 C
 Disuri
 Polakisuri
 Nyeri supra pubik dan salah satu dari hal berikut :
• Tes carik celup ( diptick ) positif untuk leukosit esterase dan atau nitrit
• Piuri terdapat lebih dari 10 lekosit per ml atau terdapat lebih dari 3 lekosit per LPB 45 kali dari urin yang tidak dipusing
• Ditemukan kumam dengan pewarnaan gram dari urin yang tidak dipusing ( decentrifuge )
• Biakan urin 2 kali berturut – turut menunjukkan jenis kumam urophatogen yang sama, dengan jumlah labih dari 100 koloni kumam per ml urin yang di ambil dengan kateter
• Biakan urin menunjukkan 1 jenis urophatogen dengan jumlah < 105 koloni per ml pada penderita yang telah mendapat pengobatan anti mikroba yang sesuai
• Atau di diagnosa ISK oleh dokter yang menangani
• Telah mendapat pengobatan antimikroba yang sesuai oleh dokter yang menangani
Untuk bayi yang berumur < 12 bulan, apabila dijumpai satu kriteria tersebut dibawah ini :
Kriteria 1 Ditemukan salah satu dari tanda / gejala :
 Demam 380 C rektal
 Hipotermi < 370 C rektal
 Apnea
 Bradikardi < 100 / menit
 Disuri
 Letargi atau
 Muntah – muntah dan hasil biakan urin > 105 kumam / ml urin dengan tidak lebih dari 2 jenis kumam
Kriteria 2 Atau ditemukan salah satu dari tanda / gejala :
 Demam 380 C rektal
 Hipotermi < 370 C rektal
 Apnea
 Bradikardi < 100 / menit
 Disuri
 Letargi atau
 Muntah – muntah dan salah satu dari hal berikut
• Test carik celup positif untuk lekosit esterase dan atau nitrit
• Piuri > 10 kkosit / mm3 atau > 3 kkosit perlapangan pandang besar
• Pewarnaan gram urin tanpa dipusing menunjukkan hasil positif
• Biakan urin 2 kali berturut – turut dengan jenis kumam yang sama dengan jumlah > 100 kumam per ml urin yang diambil dengan kateter
• Pada biakan urin ditemukan satu jenis urophatogen dalam jumlah < 105 koloni kumam per ml pada penderita yang telah di beri anti mikroba
• Di diagnosa ISK oleh dokter yang menangani

BAKTERIUSASI ASIMPTOMATIK
Seorang dikatakan menderita bakteriuri asimptomatik bila di temukan satu diantara kriteria berikut :
Kriteria 1. Pasien pernah memakai kateter kandung kemih dalam waktu 7 hari sebelum biakan urin dan ditemukan biakan urin > 105 kumam per ml urin dengan jenis kumam maksimal 2 species.
TANPA gejala – gejala / keluhan : demam suhu > 380 C, polakisuri, nikuri, disuri, dan nyeri suprapubik.
Kriteria 2 Pada pasien tanpa kateter kandung kemih menetap dalam 7 hari sebelum dibiakan pertama dari biakan urin 2 kali berturut – turut ditemukan tidak lebih 2 jenis kumam yang sama dengan jumlah > 105 per cm3.
TANPA gejala / keluhan : demam, polakisuri, nikuri, disuri, nyeri suprapubik.

ISK LAIN
( Ginjal, ureter, kandung kemih, uretra, jaringan sekitar retroperitoneal atau rongga perinefrik ). Seorang pasien dikatakan menderita ISK lain bila ditemukan kriteria berikut:
Kriteria 1 Ditemukan kumam yang tumbuh dari biakan cairan bukan urin ( jaringan yang diambil dari lokasi yang dicurigai terinfeksi )
Kriteria 2 Adanya abses atau tanda infeksi lain yang dapat dilihat, baik secara pemeriksaan langsung, selama pembedahan, atau melalui pemeriksaan hispatologi.
Kriteria 3 Dua dari tanda berikut :
 Demam > 380 C
 Nyeri local, nyeri tekan pada daerah yang di curigai terinfeksi. Dan salah satu dari tanda / gejala berikut :
• Keluar pus atau aspirasi purulen dari tempat yang dicurigai terinfeksi
• Ditemukan kumam pada biakan darah. Pemeriksaan radiologis memperlihatkan gambaran terinfeksi
• Di diagnosis infeksi oleh dokter yang menangani
 Dokter yang menangani memberikan pengobatan antimikroba yang sesuai
Untuk bayi berumur < 12 bulan
Kriteria 4 Ditemukan salah satu tanda / gejala :
 Hipotermi < 370 C rektal
 Apnea
 Bradikardi < 100 / menit
 Letargi
 Muntah – muntah dan salah satu diantara keadaan berikut :
• Keluar pus dari lokasi yang terinfeksi
• Biakan darah positif
• Pemeriksaan radiologi memperlihatkan gambaran infeksi
• Di diagnosa infeksi oleh dokter yang menangani
• Dokter yang menangani memberikan pengobatan antimikroba yang sesuai

FAKTOR RESIKO INFEKSI SALURAN KEMIH
1. Kateterisasi menetap :
 Cara pemasangan kateter
 Lama pemasangan
 Kualitas perawatan kateter
2. Kerentanan pasien ( umur )
3. Debilitas
4. Pasca persalinan

PETUNJUK PENGEMBANGAN SURVEILANS INFEKSI SALURAN KEMIH
1. Faktor resiko harus di catat dengan lengkap pada pasien oleh dokter, perawat atau anggota tim kesehatan lain yang menangani pasien ( kategori I )
2. Pelaksanaan surveilans menghitung rate menurut faktor resiko spesifik ( pemasangan kateter ) minimal setiap enam bulan sekali dan melaporkannya pada Pokja pengendalian infeksi rumah sakit dan sekaligus menyebar luaskannya dalam bulletin rumah sakit ( kategori II )

PENCEGAHAN INFEKSI SALURAN KEMIH
Untuk mencegah terjadinya infeksi saluran kemih nosokomial perlu di perhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan pemasangan kateter urin.

TENAGA PELAKSANA
1. Pemasangan kateter hanya di kerjakan oleh tenaga yang betul – betul memahami dan trampil dalam teknik pemasangan kateter secara aseptic dan perawatan kateter ( kategori I )
2. Personil yang memberikan asuhan pada pasien dengan kateter harus mendapat latihan secara berkala khusus dalam teknik yang benar tentang prosedur pemasangan kateter kandung kemih dan pengetahuan tentang komplikasi potensial yang timbul ( kategori II )

PEMASANGAN KATETER
1. Pemasangan kateter dilakukan hanya bila perlu saja dan segera di lepas bila tidak diperlukan lagi. Alas an pemasangan kateter tidak boleh hanya untuk kemudahan personil dalam memberi asuhan pada pasien ( kategori I )
2. Cara drainase urin yang lain seperti : kateter kondom, kateter suprapubik, kateteriasi selang – seling ( intermitten )dapat digunakan sebagai ganti kateteriasi menetap bila memungkinkan ( kategori III )
3. Cuci tangan : sebelum dan sesudah manipulasi kateter harus cuci tangan ( kategori I )

TEKNIK PEMASANGAN KATETER
1. Gunakan yang terkecil tetapi aliran tetap lancar dan tidak menimbulkan kebocoran dari samping kateter ( kategori II )
2. Pemasangan secara aseptik dengan menggunakan peralatan steril ( kategori I )
3. Gunakan peralatan seperti sarung tangan, kain penutup duk, kain kasa dan antiseptic untuk desinfeksi hanya untuk satu kali pemasangan ( kategori I )
4. Kateter yang sudah terpasang harus di fiksasi secara baik untuk mencegah terikan pada uretra ( kategori I )

SISTEM ALIRAN TERTUTUP
1. Aliran harus memakai sistem tertutup ( kategori I )
2. Sambungan kateter dan pipa tidak boleh dilepas kecuali untuk kepentingan irigasi
3. Bila terjadi kesalahan pada teknik aseptic, sambungan terlepas atau bocor maka sistem penampungan harus diganti dengan teknik aseptik yang benar dan sebelumnya sambungan kateter harus di desinfeksi ( kategori III )

CARA IRIGASI KATETER
1. Irigasi hanya di kerjakan apabila ada sumbatan aliran misalnya karena bekuan darah pada operasi prostate atau kandung kemih. Untuk mencegah hal ini di gunakan irigasi continue secara tertutup. Untuk menghilangkan sumbatan akibat bekuan darah, dengan dan sebab lain dapat digunakan irigasi selang – seling. Irigasi dengan antibiotik sebagai tindakan rutin pencegahan infeksi tidak di anjurkan ( kategori II
2. Sambungan kateter harus di desinfeksi sebelum di lepas ( kategori II )
3. Gunakan semprit besar steril untuk irigasi dan setelah irigasi selesai semprit di buang secara aseptik ( kategori I )
4. Jika kateter sering tersumbat dan harus sering di irigasi ( jika kateter itu sendiri menimbulkan sumbatan ) maka kateter harus dig anti ( kategori II )

PENGAMBILAN BAHAN URIN
1. Bahan pemeriksaan urin segar dalam jumlah kecil dapat diambil dari bagian distal kateter, atau jika lebih baik dari tempat pengambilan bahan yang tersedia, dan sebelum urin di aspirasi dengan jarum semprit yang steril tempat pengambilan bahan harus di desinfeksi ( kategori I )
2. Bila di perlukan bahan dalam jumlah besar maka urin harus di ambil dari kantong penampung secara aseptik ( kategori I )

KELANCARAN ALIRAN URIN
1. Aliran urin harus lancar sampai kantong penampung. Penghentian aliran secara sementara hanya dengan maksud mengumpulkan bahan pemeriksaan untuk pemeriksaan yang di rencanakan ( kategori I )
2. Untuk menjaga kelancaran aliran perhatikan :
 Pipa jangan tertekuk ( kinking )
 Kantong penampung harus di kosongkan secara teratur ke wadah penampung urin yang terpisah bagi tiap – tiap pasien. Saluran urin dari kantong penampung tidak boleh menyentuh wadah penampung
 Kateter yang kurang lancar/ tersumbat harus di irigasi teknik no 5 bila perlu di ganti dengan yang baru
 Kantong penampung harus selalu terletak lebih rendah dari kandung kemih ( kategori I )

PERAWATAN MEATUS
Dianjurkan membersihkan dan perawatan meatus ( selama kateter di pasang ) dengan larutan povidone Iodine, walaupun tidak mencegah kejadian infeksi saluran kemih ( kategori II )

PENGGANTIAN KATETER
Kateter urin menetap tidak harus diganti menurut waktu tertentu / secara rutin ( kategori II )

RUANG PERAWATAN
Untuk mencegah terjadinya infeksi silang antara pasien yang memakai kateter menetap maka pasien yang terinfeksi harus di pisahkan dengan tidak terinfeksi ( kategori III )

PEMANTAUAN BAKTERIOLOGIK
Pemantauan bakteriologik secara rutin pada pasien yang memakai kateter tidak di anjurkan ( kategori III )




4. INFEKSI ALIRAN DARAH PRIMER ( IADP )
DEFINISI INFEKSI ALIRAN DARAH PRIMER
Infeksi aliran darah primer adalah infeksi darah yang timbul tanpa ada organ atau jaringan lain yang di curigai sebagai sumber infeksi.
Kriteria infeksi aliran darah primer dapat di tetapkan secara klinis dan laboratorik, dengan gejala / tanda sebagai berikut :

A. Klinis
Untuk dewasa dan anak > 12 bulan, di temukan salah satu diantara gejala berikut tanpa penyebab lain :
 Suhu > 380 C axilar, bertahan minimal 24 jam dengan atau tanpa pemberian antipiretika
 Hipotensi, sistolik < 90 mm Hg
 Oliguri, jumlah urin < 0,5 cc / kg BB / jam
Semua tanda / gejala yang disebut :
 Tidak ada tanda – tanda infeksi ditempat lain
 Telah diberikan antimikroba sesuai dengan sepsis

Penderita usia < 12 bulan dengan salah satu tanda di bawah ini :
 Panas > 380 C, hipotermi < 370 C, apnea atau bradikardi < 100 x / menit

Untuk neonatus dinyatakan menderita infeksi aliran darah primer apabila terdapat 3 atau lebih diantara 6 gejala berikut :
 Keadaan umum menurun, menurun antara lain : hipotermi ( 370 C ), hipertermi ( 380 C ) dan sklerema, malas minum.
 Sistem kardiovaskuler antara lain : tanda renjatan, yaitu takikardi, 160x / menit atau bradikardi 100x / menit dan sirkulasi perifer buruk.
 Sistem pencernaan antara lain : distensi lambung, mencret, muntah dan hepatomegali.
 Sistem pernafasan antara lain : nafas tidak teratur, sesak, apnea dan takipnea.
 Sistem saraf pusat antara lain : hipertomi otot, iritabel kejang dan letargi.
 Manifestasi hematology antara lain : pucat, kuning, splenomegali dan perdarahan.
Dan semua tanda / gejala di bawah ini :
• Biakan darah tidak dikerjakan atau dikerjakan tetapi tidak ada pertumbuhan kumam.
• Tidak terdapat tanda – tanda infeksi di tempat lain.
• Diberikan terapi anti mikroba sesuai dengan sepsis
 Telah memberikan antimikroba yang sesuai dengan infeksi.

Catatan :
Untuk neonatus digolongkan infeksi nosokomial apabila :
1. Pada partus normal di rumah sakit infeksi terjadi setelah lebih dari 3 hari.
2. Terjadi 3 hari setelah partus patologik, tanpa di dapatkan pintu masuk kumam.
3. apintu masuk kumam jelas misalnya luka infuse.

B. Laboratorik
 Kultur darah menunjukkan kuman kontaminasi kulit pada 2 x pemeriksaan yang berbeda waktu.
 Kultur darah menunjukkan kuman kontaminasi kulit pada 1x pemeriksaan pada penderita dengan infuse dan dokter memberikan terapi antibiotika.
 Antigen tes darah yang positif dan disertai gejala serta pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan infeksi di tempat lain.

FAKTOR RESIKO INFEKSI ALIRAN DARAH PRIMER
1. Pemasangan kateter intra vena ( IV) yang berkaitan dengan :
 Jenis kanula
 Metoda pemasangan
 Lama pemasangan kanula
2. Kerentanan pasien terhadap infeksi

PETUNJUK PENGEMBANGAN SURVEILANS INFEKSI ALIRAN DARAH PRIMER
1. Semua factor resiko harus dicatat dengan lengkap pada catatan pasien oleh dokter, perawat atau anggota tim kesehatan lain yang menangani pasien ( kategori I ).
2. Pelaksana surveilans menghitung rate menurut factor resiko spesifik ( kateter intravena ) minimal setiap 6 bulan sekali dan melaporkannya pada Pokja Pengendalian Infeksi RS dan juga menyebarluaskannya melalui bulletin rumah sakit ( kategori II ).

PENCEGAHAN INFEKSI ALIRAN DARAH PRIMER
Pencegahan IADP terutama ditujukan pada pemasangan dan perawatan I.V.
1. Indikasi pemasangan I.V. Pemasangan I.V hanya dilakukan untuk tindakan pengobatan dan atau untuk kepentingan diagnostic ( kategori I ).
2. Pemilihan kanula untuk infuse perifer.
 Kanula plastic boleh digunakan untuk I.V secara rutin pemasangan tidak boleh lebih dari 48 – 72 jam ( kategori II ).
 Kanula logam digunakan bila kanula plastic tidak mungkin diganti secara rutin setiap 48 – 72 jam namun, kasus kasus tertentu yang memerlukan fiksasi yang baik harus digunakan kanula plastic ( kategori II ).
3. Cuci Tangan :
 Cuci tangan harus dilakukan sebelum melakukan pemasangan kanula ( kategori I ).
 Pada umumnya cuci tangan cukup menggunakan sabun dan air mengalir tetapi untuk pemasangan kanula yang central dan untuk pemasangan melalui incise, cuci tangan harus menggunakan antiseptic ( kategori I ).
4. Pemilihan lokasi pemasangan I.V pada orang dewasa pemasangan kanula lebih baik pada tungkai atas daripada tungkai bawah, bila perlu pemasangan dilakukan didaerah subklavia atau jugular ( kategori I ).
5. Persiapan pemasangan I.V.
 Tempat yang akan ditusuk / dipasang kanula harus terlebih dahulu di desinfeksi dengan antisieptik ( kategori I ).
 Gunakan tinetur 1 – 2 % atau dapat juga menggunakan klorheksidine, Iodofor atau Alkohol 70%. Antiseptik harus secukupnya dan ditunggu sampai kering minimal 30 detik sebelum dilakukan pemasangan kanula ( kategori I ).
 Jangan menggunakan heksaklorofen atau campuran semacam benzalkonium dalam air untuk desinfeksi tempat tusukan ( kategori I ).
6. Prosedur setelah pemasangan I.V.
 Beri salep setelah pada tempat pemasangan terutama pada tehnik insisi ( kategori I ).
 Kanula di fiksasi sebaik – baiknya ( kategori I )
 Tutuplah dengan kassa steril ( kategori I ).
 Cantumkan tanggal pemasangan ditempat yang mudah dibaca ( misalnya pada plastic penutup pipa infuse ) serta pada catatan pasien yang bersangkutan tuliskan tanggal dan lokasi pemasangan ( kategori I ).
7. Perawatan tempat pemasangan I.V.
 Tempat tusukan diperiksa setiap hari untuk melihat kemungkinan timbulnya komplikasi tanpa membuka kasa penutup yaitu dengan cara meraba daerah vena tersebut. Bila ada demam yang tidak bisa dijelaskan dan ada nyeri tekan pada tempat tusukan, barulah kasa penutup dibuka untuk melihat kemungkinan komplikasi ( kategori I ).
 Bila kanula harus dipertahankan untuk waktu lama maka setiap 48 – 72 jam kasa penutup harus diganti
 Bila pada waktu pemasangan kanula tempat pemasangan diberi antiseptik maka setiap penggantian kasa penutup, tempat pemasangan diberi antiseptik kembali ( kategori II ).
8. Penggantian kanula
 Jika pengobatan I.V. melalui infuse perifer ( baik menggunakan heparin atau yang dipasang melalui insisi ) bila tidak ada komplikasi yang mengharuskan mencabut kanula harus diganti setiap 48 – 72 jam secara asepsis ( kategori I ).
 Jika penggantian tidak mengikuti tehnik aseptic yang baik maka harus diganti secepatnya ( kategori I ).
9. Kanula Sentral
 Kanula sentral harus dipasang dengan tehnik aseptic ( kategori I ).
 Kanula sentral harus segera dilepas bila tidak diperlukan lagi atau diduga menyebabkan sepsis ( kategori I ).
 Kanula sentral dipasang melalui vena jugular dan sub klavia kecuali digunakan untuk pemantauan tekanan vena sentral. Tidak harus diganti secara rutin ( kategori I ).
 Kanula sentral dipasang melalui vena perifer harus diperlakukan seperti kanula perifer tersebut diatas ( kategori I ).
 Bila kanula dipertahankan lebih lama, kasa penutup diperiksa dan diganti setiap 48 – 72 jam ( kategori II ).
10. Pemeliharaan Peralatan
 Pipa I.V termasuk kanula piggy back harus diganti setiap 48 jam ( kategori I ).
 Pipa yang digunakan untuk hiperalimentasi harus diganti setiap 24 – 48 jam ( kategori II ).
 Pipa yang harus diganti sesudah memanipulasi pemberian darah, produk – produk darah atau emulsi lemak ( kategori III ).
 Pada setiap penggantian komponen system I.V. harus dipertahankan tetap tertutup. Setiap kali hendak memasukkan obat melalui pipa harus dilakukan desinfeksi sesaat sebelum memasukkan obat tersebut ( kategori I ).
 Hindarkan pembilasan dan irigasi untuk melancarkan aliran ( kategori I ).
 Pengambilan bahan pemeriksaan darah melalui pipa I.V.tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan darurat atau pipa akan segera di lepas ( kategori II )

11. Penggantian komponen sistem intravena dalam keadaan infeksi atau flebitis. Jika dari tempat tusukan keluar pus atau terjadi selulitis atau flebitis tanpa gejala – gejala infeksi pada tempat I.V.atau di duga bakterimia yang berasal dari kanula, maka semua sistem harus di cabut ( kategori I )
12. Pemeriksaan untuk infeksi yang dicurigai karena intravena
 Bila di curigai terjadi infeksi karena pemasangan I.V.seperti tromboplebitis purulen, bakterimia, maka di lakukan pemeriksaan biakan ujung kanula
Cara pengambilan bahan sebagai berikut :
• Kulit tempat tusukan harus di bersihkan dan di desinfeksi dengan alkohol, biarkan sampai kering
• Kanula di lepas, ujung kanula di potong kurang dari 1 cm secara aseptik untuk di biakkan dengan teknik semi kuantitatif ( kategori II )
• Jika sistem I.V.di hentikan oleh karena kecurigaan kontaminasi cairan, maka cairan harus di biakkan dan sisa botol diamankan ( kategori I )
• Jika sistem I.V.dihentikan oleh karena kecurigaan bakterimia akibat I.V.cairan harus di biakkan ( kategori II )
• Jika terbukti bahwa cairan terkontaminasi maka sisa botol dan isinya dengan nomor lot yang sama dengan yang terkontaminasi harus di amankan dan nomor lot harus harus di catat ( kategori I )
• Jika kontaminasi di curigai berasal dari pabrik ( intrinsic contamination ) maka secepatnya harus di laporkan kepada Dinas Kesehatan atau Kanwil Depkes setempat untuk di teruskan ke Ditjen PPM dan PLP dan Ditjen POM ( kategori I )
13. Kendali mutu selama dan sesudah pencampuran cairan parental :
 Cairan parentral dan hiperalimentasi harus di campur di bagian farmasi, kecuali karena kepentingan klinis, pencampuran di lakukan di ruangan pasien ( kategori II )
 Tenaga pelaksana harus mencuci tangan sebelum mencampur cairan parenteral ( kategori I )
 Sebelum mencampur dan menggunakan cairan parentral semua wadah harus di periksa untuk melihat adanya keruhan, kebocoran, keretakan dan partikel tertentu dan tanggal kedaluwarsa. Bila di dapatkan keadaan tersebut cairan tidak boleh di gunakan dan harus di kembalikan ke bagian farmasi dan dari bagian farmasi tidak boleh di keluarkan ( kategori I )
 Ruangan di bagian farmasi tempat mencampur cairan parentral tersebut harus memiliki pengatur udara laminar ( laminar – flow – hood ) ( kategori II )
 Sebaiknya di pakai wadah yang berisi cairan dengan dosis tunggal ( sekali pakai ) Bila di pakai bahan parentral dengan dosis ganda ( untuk beberapa kali pakai ) dan sisanya untuk wadah harus diberi tanda tanggal dan jam dikerjakan
 Label wadah harus diperiksa untuk mengetahui apakah perlu dimasukkan ke dalam es atau tidak


Keterangan tentang kategori :

Kategori I :
Keharusan mutlak ( Strongly Recommended for Adoption )
Ditunjang kuat oleh penelitian klinis yang terencana / terkontrol baik atau dipandang berguna oleh pakar, dapat dipakai dan praktis untuk semua rumah sakit.

Kategori II :
Sangat dianjurkan ( Moderatly Recommended for Adoption )
Ditunjang oleh penelitian secara klinis dipandang sangat mungkin dan secara teoritis adalah rasional. Praktis tapi tak dapat dilaksanakan oleh semua rumah sakit.

Kategori III :
Dianjurkan ( Weakly Recommended for Adoption )
Dianjurkan oleh pejabat yang berwenang tapi tidak ditunjang oleh data yang kuat / teori. Dilaksanakan oleh beberapa rumah sakit.






















SURAT - KEPUTUSAN
No:269/SK/UM.11/V/2001

Tentang :
PEMBERLAKUAN BUKU PEDOMAN
PENGENDALIAN INFEKSI NOSOKOMIAL

DIREKTUR RS. ISLAM KLATEN

MENIMBANG :
a. Bahwa salah satu kegiatan dalam rangka peningkatan mutu pelayanan di Rumah Sakit adalah Pengendalian Infeksi Nosokomial.
b. Bahwa agar lebih terarah dan teratur kegiatan Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit perlu adanya buku Pedoman Pengendalian Infeksi Nosokomial.
c. Bahwa untuk maksud tersebut butir 1 & 2 perlu ditetapkan Surat Keputusan Direktur RS. Islam Klaten tentang Pemberlakuan Buku Pedoman Pengendalian Infeksi Nosokomial.

MENGINGAT :
a. Undang – undang Kesehatan tahun 1992 tentang Pokok Kesehatan.
b. SK nomor 033/SK/YJH/V/2001, tentang penyempurnaan Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja RS. Islam Klaten.
c. SK Direktur RS. Islam Klaten No. 197/SK/YM.60.5/VIII/2000, tentang Reorganisasi Pokja Pengendalian Infeksi Nosokomial.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :
Pertama : Memberlakukan Buku Pedoman Pengendalian Infeksi Nosokomial di lingkungan Rumah Sakit Islam Klaten
Kedua : Buku Pedoman Pengendalian Infeksi Nosokomial berlaku untuk 3 ( yiga ) tahun dan akan ditinjau ulang
Ketiga : Keputusan ini berlaku sejak ditetapkan dengan ketentuan apabila ada kekeliruan akan di adakan perubahan sebagaimana mestinya

Ditetapkan di : KLATEN
Pada tanggal : 30 Mei 2001
Direktur




DR. dr. HM. Syamsulhady, SpKj
Tembusan
Komite Medik
Semua Instalasi/ Bagian/ Bidang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar